KONFLIK ELIT LOKAL DALAM PEMBENTUKAN PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

I. Pendahuluan

Provinsi Irian Jaya Barat berdiri berdasarkan undang-undang nomor 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. dan dipercepat dengan inpres nomor 1/2003. Berdirinya provinsi Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan Pemerintah Pusat pada tanggal 16 september 2002. Dalam dialog dengan Mentri koordinator Politik dan Keamanan dan Mentri Dalam Negeri, mereka menyampaikan aspirasi agar segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah di tetapkan pada tanggal 12 oktober 1999 oleh Pemerintah pusat. Kedatangan para tokoh masyarakat Irian Jaya Barat ini sangat meningkatkannya bergening politik terhadap Pemerintah Pusat. Sehingga diterima oleh Presiden republik Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 21 september 2009. Pemerintah Pusat menanggapi aspirasi masyarakat dengan mengeluarkan Inpres nomor 1 tahun 2003.

Dalam pembentukan Provinsi Irian jaga barat tidak terjadi kekerasan namaun pro dan kontra dikalangan masyarakat. berbeda Pandangan yang ada pada masyarakat dimana pembentukan provinsi ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat namun disisi lain terjadi kontrafersi dimana diasumsikan bahwa pembentukan provinsi ini seolah – olah untuk kepentingan jangka pendek yakni untuk kepentingan Pemilu 2004.

Pendirian Provinsi Irian Jaya Barat dipengaruhi oleh para elit lokal baik masyarakat maupun DPRD Kabupaten Manokwari. Elit masyarakat terdiri dari kepala kepala suku, organisasi gereja, LSM, Perguruan Tinggi, Aktivis Perempuan, diantara elit elit lokal kepala Suku memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk opini masyarakat. Tentunya dengan berbagai karakteristik masyarakat Papua (Irian Jaya barat) yang memiliki 250 lebih suku yang otonom satu dengan yang lain. Peran para kepala suku terutama yang berada di kabupaten Manokwari memberikan pemahaman atau membangun oponi publik sebagai upaya sosialisasi, walaupun demikian kepala suku hanya memiliki peran yang penting hanya pada tingkat masyarakat Adat dan memberikan opini dan sebagai juru bicara yang menyampaikan aspirasi warganya ( juru bicara masyarakat), kemudian Elit Pemerintah Daerah dan DPRD berperan sebagai aktor-aktor pengambilan kebijakan sekaligus sebagai pengontrol pendistribusian sumber daya.

Tanggapan masyarakat terutama Elit lokal terhadap pemekaran provinsi Irian Jaya Barat dapat dikatogorikan terdapat dua sikap yang berbeda yakni ada sebagian elit lokal yang pro terhadap pemekaran tetapi juga ada sebagian elit lokal kontra dengan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Dari perbedaan pandangan terhadap pemekaran provinsi Irian Jaya Barat ini menjadi suatu wacana serius, karena pembentukan suatu provinsi harus mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, dengan demikian proses negosiasi tetap dilakukan antara pihak-pihak yang pro dan pihak-pihak yang kontra terhadap pemekaran terutama para elit lokal. Sikap elit yang menerima dan menolak pemekaran terdiri dari elit Pemerintah dan Elit lokal seperti tampak dibawah ini :

Pada Prinsipnya Pemerintah Kabupaten manokwari dan Provinsi Irian jaya barat mendukung namun pada pada level Elit Lokal terdapat dua kontar versi atar dua kelompok elit yaitu elit lokal yang pro pemekaran adalah : Suku Arfa besar, Suku Ayamaru, Suku Doreri, Media Masa, UNIPA, Ikatan Pemuda Arfak, Mahasiswa. Dan kelompok elit yang kontra terhadap pemekaran adalah Sekolah Tinggi ilmu Hukum manokwari, LP3BH, YPLBC, GMKI, Aktivis Perempuan, GKIT Klasis Manokwari. Dari beberpa Elit lokal yang memangku jabatan sebagai kepala suku adalah juga merupakan pegawai negeri di berbagai instansi termasuk kepala kelurahan.

Orang-orang yang memiliki kemampuan sumber daya manusia adalah orang-orang yang bersal dari kepala-kepala Suku dengan demikian pendistribusian kekuasaan suku-suku besar ini tersebar diberbagai jajaran birokrasi pemerintahan, baik Pemerintahan Provinsi maupun di kabupaten yang mendukung pemekaran provinsi Irian Jaya Barat.

Tokoh utama dari penjuangan pemekaran ini adalah penjabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat (Abraham O Ataruri) dan Bupati Manokwari (Dominggus Mandacan), ketua Bappeda, kepala – kepala Dinas, Ketua dan wakil ketua DPRD.

Disisi lain pihak-pihak yang menolak pemekaran berasal dari LSM dan gereja Protestan. Tokoh-Tokohnya antara lain Offni Simbiak (ketua GKIT Klasis Manokwari), Sehat Saragih (Ketua YPLBC), Yan Cristian Warinussy ( Ketua LP3BH ) dan A. Dhanie (Aktifis Perempuan). Elit – elit tersebut bekerja pada lapisan Grass roots sehingga pada tingkat tertentu juga menggambarkan aspirasi masyarakat. Pranan mereka juga menyelesaikan konflik baik sesama pemerintah maupun anggota masyarakat.

Dalam tulisan ini juga melihat pemekaran sebagai alat untuk mencegah perkembangan gerakan separatis Papua. Permasalahannya adalah langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjaga agar pemekaran dapat berjalan secara efektif, sehingga dalam jangka panjang mampu menjaga integritas Papua dalam NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Tentunya muncul pertanyaan ada apa dengan pemekaran?, jika hanya mau mencegah gerakan separatis papua yang dikenal dengan OPM guna menjaga integrasi bangsa. Dari pertanyaan diatas ada empat alasan utama untuk mendukung pemekaran, Pertama, Pemekaran dilakukan untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, sehingga mempercepat pemerataan pembangunan. Mempercepat pemerataan pembangunan di perlukan untuk menjawab keterisolasian pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dan juga mampu menjangkau kabupaten-kabupaten dan Distrik-distrik, desa-desa, kampung-kampung yang jaraknya sangat jauh.

Wilayah papua yang sangat luas dan sulit dijangkau menyebabkan pelayanan pemerintah tidak berjalan baik terutama disektor kesehatan, pendidikan dan permukiman. Kedua Pemekaran akan memperbanyak jabatan politik seperti Gubernur, Bupati, Kepala Distrik, Kepala kampung, dan jabatan-jabatan strategis lainnya, justru memperkuat kedudukan orang papua sebagai “ tuan” dinegrinya sendiri. Ketiga , untuk memajukan kesejahtraan masyarakat dan memajukan pembangunan ekonomi daerah dan usaha-usah lainnya guna meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Keempat, Untuk mempertahankan Integrasi dengan NKRI, yang dengan banyak provinsi maka persatuan dan nasionalisme akan semakin lemah sehingga bisa dipatahkan.

II. Pro dan Kontra Pemekaran Provinsi irian jaya barat

Dinamika politik dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat memberikan suatu orientasi nilai yang berarti bagi comunitas masyarakat Papua yang berada di wilayalah provinsi irian jaya barat, tentunya dinamika ini dilandasi dengan berbagai macam kepentingan politik, karena proses pembentukan provinsi ini merupakan rana politik yang harus di cermati secara mendalam. Pembentukan provinsi ini menunjukan bahwa masyarakat papua ingin suatu perubahan, maka muncul beberapa elit lokal yang mendukung pemekaran privinsi, namun tetapi ada sekelompok elit lokal yang memandang bahwa pembentukan provinsi irian jaya barat ini secara tidak langsung membaga orang papua dalam bebarap wilayah politik dan kekuatan oirang papua menjadi tercerai berai dan akan masuklah kekuatan baru yang memanfaatkan situasi ini maka munculnya kontra terhadap pemekaran wilayah.

A. Elit Lokal Pro Pemekaran

Pemekaran provinsi Irian Jaya Barat disambut baik oleh para Elit lokal masyarakat pro-pemekaran. Elit masyarakat pro-pemekaran terdiri dari kalangan kepal suku dan perguruan tinggi. Pemekaran provinsi mempunyai sutu harapan bahwa dengan pemekaran dapat memperpendek rentang kendali pemerintahan dan Pembangunan, guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat melalui peningkatan Pertumbuhan Ekonomi masyarakat, selain itu mendorong untuk mempererat hubungan persaudaraan melalui pembukaan wilayah-wilayah terisolir sehingga mereka saling kenal-mengenal,membuka jalur daerah-daerah terisolir maka pembangunan ekonomi ke depan akan lebih baik melalui usaha-usaha ekonomi masyarakt guna memperbaikan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat. Mempercepat pemerataan pembangunan di perlukan untuk menjawab keterisolasian pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dan juga mampu menjangkau kabupaten-kabupaten dan Distrik-distrik, desa-desa, kampung-kampung yang jaraknya sangat jauh.

Masyarakat dapat terjamaah oleh pendidikan yang layak, mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, atau menciptakan lapangan kerja baru melalui inverstor yang menanamkan modalnya di provinsi Irian Jaya Barat.

Pemekaran akan memperbanyak jabatan politik seperti Gubernur, Bupati, Kepala Distrik, Kepala kampung, dan jabatan-jabatan strategis lainnya, justru memperkuat kedudukan orang papua sebagai “ tuan” dinegrinya sendiri. Tetapi juga untuk mempertahankan Integrasi dengan NKRI, yang dengan banyak provinsi maka persatuan dan nasionalisme akan semakin lemah sehingga bisa dipatahkan, seberti yang dijelaskan pada halaman pendahuluan. Elit-elit pro – pemekaran mengatakan bahwa pada prinsipnya suatu hal yang mereka kontra terhadap pemekaran adalah mereka masi ingin memperjuangkan kemerdekaan papua. Dengan banyak pemekaran maka lemah gerakan papua merdeka.

B. Elit Lokal Kontra Pemekaran

Kelompok kontra pemekaran terdiri dari kalangan LSM dan Gereja kristen yang juga memiliki pengaruh secara riil pada masyarakat tingkat bawah. Kelompok ini terdiri dari LSM dan gereja Protestan. GKIT Klasis Manokwari, YPLBC,LP3BH,Aktivis Perempuan. Elit – elit tersebut bekerja pada lapisan Grass roots sehingga pada tingkat tertentu juga menggambarkan aspirasi masyarakat. Pranan mereka juga menyelesaikan konflik baik sesama pemerintah maupun anggota masyarakat.

Di akui bahwa pemekaran wilayah akan memperpendek rentang kendali pemerintahan, akan membuka peluang usaha percepatan pembangunan perekonomian masyarakat. Namun demikian pemekaran harus berpijak pada otonomi khusus yang telah ditetapkan dalam undang-undang nomor 21 tahun 2000 agar semuanya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OTSUS Papua.

Analisis yang menjadi dasar untuk menolak pemekaran adalah beragam yakni dari aspek hukum, Sosial Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya tetapi juga pemekaran wilayan membuat kekuatan orang papua tentang gerakan kemerdekaan menjadi lemah karena terpecah – pecah suatu kekuatan besar.

Disisilain pemekaran wilayah Provinsi Irian Jaya menjadi 3 (tiga) bagian termasuk Provinsi Irian Jaya Barat yang di tetapkan dengan Undang-undang nomor 45 tahun 1999 ini menjadi lemah dasar hukum karena muncul lagi undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.

Otonomi khusu adalah merupakan kebijakan resolusi konflik yang merupakam kompromi jalan tengah antara masyarakat papua yang ingin merdeka dengan kepentingan NKRI yang ingin tetap mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dengan demikian apapun kebijakan pemerintah pusat terhadapa papua harus diletakan pada konteks Otonomi khusus baik mengenai pemekaran maupun tentang persoalan sosial ekonomi dan budara lainnya. Pemekaran maupun kebijakan lainnya hendaknya dilihat secara proprorsional dan aspiratif melalui lembaga aspirasi masyarakat yaitu DPRP dan MRP[1]

Ada semacam motivasi bahwa jika pemekaran tetap dilakukan maka akan muncul kekuatan-kekuatan Elit pemerintah (negarengaa) yang menggagalkan perjuangan Papua merdek, mana kala orang papua akan dikotak-kotakan menjadi bagian yang tidak berdaya (lemah) sehingga sulit untuk memperjuangkan kemerdekan.

III. Konflik elit lokal dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat

A. Realalitas Kontekstual

Dalam sejarah panjang orang papua hidup dalam keterbelakangan pembangunan dimana hasil pembangunan senantiasa tidak menyentuh dan merubah posis masyarakat dari berbagai belenggu ketertinggal, kemiskinan dan kebodohan diatas negri yang kaya raya dan menghasilkan emas yang selalu dibanggakan oleh bangsa Indonesia, namun kebanggaan itu tidak memberikan maanfaat yang signifikan terhadap apa yang diamiliki. Sejarah bangsa yang panjang dengan papua (Irian Jaya) telah menghasilkan banyak sesuatu yang patut dibanggakan oleh negara indonesia namun dalam implementasi pembangunan orang papua hanya dipandang dari sebelah mata “ anak tiri pembangunan”. Dari berbagai dilemah dan masalah-masalah mendasar maka munculnya bebarapa gerangkan – gerakan yang dianggab separatis yang di lakukan oleh kelompok-kelompok yang menentang pemerintah Indonesia.

Kelompok-kelompok ini berjuangan dan melawan yang namanya penindasan diatas negeri “ ketertinggalan” dalam berbagai aspek termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan, ekonomi, dan pembangunan masyarakat secara holistik, maka adanya upaya-upaya memisahkan diri dari Negara Kesetuan Republik Indonesi ( NKRI) dengan muncul gerakan-gerakan yang disebut dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Organisasi Papua Merdeka yang di singkat OPM saya maknai sebagai suatu fenomena dimana makna OPM sebenarnya Orang Papua Menangis tentunya menjadi pertanya mengapa orang papua menangis? Karena miskin diatas negerinya sendiri yang kaya akan kekayaan alam, mengapa miskin karena hidup dalam kegelapan ilmu pengetahuan, sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dikatanakan “kemiskinan struktural”.

Pergerakan ini bukan hanya dilakukan oleh Elit masyarakat lokal masyarakat tetapi ada juga elit lokal yang berada dibirokrasi pemerintahan di papua[2] hanya saja sepintas lalu tidak menampakan dasarnya apa ? karena pasti orang Papua ingin merdeka.[3]

Gerakan Organisasi papua merdeka ini dianggab mengganggu kestabilan negara maka dikeluarkannya Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, di ikuti dengan dilantiknya Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, dengan melantik Gubernur Herman Monim sebagai Gubernur Irian jaya tengan dan Abraham O Atari sebagai Gubernur Irian Jaya Barat, pelantikan tersebut membuat kontra antara mahasiswa dan sebagian elit masyarakat terhadap sebagian elit masyarakat dan elit pemerintahan, diharapkan kebijakan ini dapat menyelesaikan permasalahan di Papua, namun justru lebih mempertajam permasalahan.

Kemudian di ikuti dengan penerimaan CPNS tahun 2000 dengan istilah Foker 2000 dimana kebijakan pemerintahan Pusat untuk membuka peluang bagi orang papua bekerja di pemerintahan dengan menerima 2000 pegawai.

Pembentukan Provinsi Irian jaga barat tidak terjadi kekerasan namaun pro dan kontra dikalangan masyarakat. Pro dan kontra ini diawali dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 45/1999, kemudian atas pertemuan Elit Politik Lokal Masyarakat Irian Jaya barat dengan pemerintah pusat terhadap implementasi undang-undang nomor 45/1999 makan Pemerintah Pusat menanggapi aspirasi masyarakat dengan mengeluarkan Inpres nomor 1 tahun 2003 untuk mempercepat roda pemerintahan di provinsi Irian Jaya Barat. Keinginan kuat elit lokal masyarakat yang pro pembentukan propvinsi ini bertekat kuat agar prose pemerintahan tetap berjalan dan menyelenggarakan pemilu 2004 dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Irian Jaya Barat secara devinitif dan pemerintahan yang Devenitif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik walaupun masih terjadi wacana pro dan kontra, namun pada akhirnya semua menerima keputusan dan kenyataan yang ada.

B. Konsep dan Konstruksi Teori

Pro dan ariabekontra terhadap pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat merupakan bagian dari suatu dinamika politik yang tingkat tinggi, dimana berbagai alasan yang dilakukan baik pihak pro maupun yang kontra terhadap pemekaran. Dengan berbagai variabelan yang diambil untuk melihat tingkat kepentingannya telah dilakukan seperti pengukuran sikap terhadap tingkat kepentingan seperti :

Tabel Alasan-alasan Pendukung dan Kontra Pemekaran[4]

Elit dan Sikap terhadap

Pemekaran Papua

Alasan

Variabel Internal

Variabel Eksternal

I. Elit Pemda

Pro-pemekaran

Kepentingan publik (pelayanan) publik, ekonomi, politik dan kepentingan individu ( jabatan politik dan kontrol SDA)

Kepentingan publik (pelayanan) publik, ekonomi, politik dan kepentingan individu (jabatan politik dan kontrol SDA)

Kontra Pemekaran

-

-

II. Elit Masyarakat

Pro-pemekaran

Kontra Pemekaran

Kepentingan publik (ekonomi, Sejarah,pendidikan) dan kepentingan individu (Jabatan politik dan kontrol SDA)

Kepentingan publik (ekonomi, Sejarah,pendidikan) dan kepentingan individu (Jabatan politik dan kontrol SDA)

Kepenting Publik (otonomi khusus, politik, budaya, hukum, HAM)

Kepenting Publik (otonomi khusus, politik, budaya, hukum, HAM)

Sumber Data : Laporan Akhir Penelitian pemantapan implementasi UU No. 45/1999 dalam konteks penyelenggaraan pemerintah dan persiapan pemilu 2004. PPE-LIPPI dan Balitbang Depdagri, 2004

Dari tabel Alasan-alasan Pendukung dan Kontra Pemekaran, dapat dianalisa bahwa variabel-variabel pendukung dalam memberikan opini publik menunjukan suatu dasar yang kuat bahwa pemekaran provinsi menjadi suatu kebutuhan yang mendasar, walaupun disisilain ada kepentingan politik yang bersinegi antara elit pemerintahan lokal dengan elit pusat, seperti yang telah di uraikan pada halaman sebelumnya. OTSUS sebagai jalan tengah menuju perbaikan infra struktur dan peningkatan ekonomi orang papua tetapi itu belum menjamin hal itu dapat terwujud. Langkah yang di ambil untuk mempercepat pelaksanaan undang-undang nomor 45 tahun 1999 adalah merupakan bagian dari komitmen politik sejak jaman Izak Hidum sebagai Gubernur ketika usulan demi usulan namun tidak ditanggapi secara serius oleh elit pemerintah pusat, dengan demikian pemekaran ini bukan sesuatu yang baru dimulai tetapi sudah dilakukan sejak tahun 1980-an bahkan sebelumnya.

Pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi beberapa wilayah provinsi termasuk Provinsi Irian Jaya Barat adalah suatu fenomena yang menarik dimana dilihat dua kekuatan kekuatan elit lokal termasuk pemerintah daerah dan 1(satu) kekuatan Elit pamerintah Pusat dalam menentukan sikap politiknya terhadap pembentukan provinsi Irian Jaya Barat.

Dalam menganalisa pro dan kontra pemekaran wilayah ini terjadi pertarungan antara Elit-elit dalam masyarakat maupun elit yang ada di birokrasi pemerintahan daerah dan pemerintah pusat, dinamika seperti ini menurut Pareto bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas, kelas yang pertama adalah lapisan atas yaitu terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elite), yang kedua lapisan yang lebih rendah yaitu non elit. Pereto sendiri lebih memusatkan perhatian pada elit yang memerintah, yang menurutnya, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dengan kelicikan,yang dilihat sebagai hal yang penting.[5]

Teori ini sangat relevan dengan kedaan sebenarnya elit yang memerintah yakni elit lokal masyarakat seperti kepala-ketu pemerpala suku mempunyai peran yang besar karena ia berada dalam posisi memerintah suatu pemerintahan lokal yang namanya adat sehingga kewenangannya cukup besar untuk memerintah, kemudia elit pemerintah daerah mempunyai kewenagan yang besar juga karena yang berkuasa diatas negeri “ provinsi Irian Jaya Barat” adalah pemerintah yang sedang ada pada waktu itu. Elit Pemerintahan Pusat adalah elit yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang luas untuk menentukan sikap dan pilihannya. Hal nampak ketika Direktur LP3BH mengatakan bahwa kalau Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 ingin diberlakukan lagi, maka undang-undang tersebut harus direvisi terlebih dahulu menyesuaikan ketentuan – ketentua yang telah diatur dalam undang-undang nomor 21 Tahun 2000. Ini perlu dilakukan perbaikan karena undang-undang nomor 21 Tahun 2000 mengatur tentang hal yang baru lagi dari Undang-undang nomor 45 Tahun 1999. Dengan demikian pemekaran yang dilakukan menurut Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 adalah menunjukan kuatnya dominasi dan intervensi pemerintah pusat (elit yang berkuasa). Namun jika pemekaran dilakukan menurut undang-undang nomor 21 Tahun 2000 adalah sangat aspiratif didasarkan atas otonomi khusus Papua menunjukan dihormatinya aspirasi masyarakat papua ( harapan elit lokal) yang tidak berkuasa.

Mengenai hubungan Otonomi khusu dan pemekaran terdapat silang pendapat antara elit-elit pro dan konta pemekaran. Kalangan elit Pro-pemekaran mengatakan bahwa Otonomi Khusus di peruntukan seluruh provinsi hasil pemekaran dan provinsi induk. Klausal provinsi Papua berarti seluruh provinsi yang berada di atas tanah Papua. Oleh karena itu menurut kalangan ini ada dua langkah yang harus dilakukan sebagai berikut:

1. Segera dilaksanakan pemilihan anggota DPRD Provinsi – provinsi hasil pemekaran. Sesudah DPRD, maka akan dilaksanakan sidang untuk memilih Gubernur devenitif dan mengubah nama dari Irian Jaya menjadi Papua. Dengan demikian akan muncul banyak provinsi di tanah papua yang menggunakan nama papua seperti papua tengah, papua barat dan lain-lain.

2. Setelah DPRD terbentuk dan Gubernur devinitif terpilih, maka DPRD dan Pemerintah Provinsi hasil pemekaran mendesak pemerintah pusat untuk merevisi Undang-undang nomor 21 Tahun 2000 dengan menggantikan nama Provinsi Papua dengan seluruh Provinsi yang berada diatas tanah papua, dengan demikian seluruh provinsi yang berada ditanah papua hasil pemekaran akan diterapkan Undang-undang nomor 21 Tahun 2000 sebagai provinsi yang menerima Otonomi khusus. Dan revisi Otonomi khususpun diarahkan untuk mendukung pemekaran seperti yang telah diatur dalam undang-undang nomor 45 tahun 1999.

Pendapat yang berbeda diajukan oleh elit kontra pemekaran dengan bertolak dari aspek politik, menekankan bahwa pemekaran wilayah berdasarkan undang-undang nomor 45 tahun 1999 telah ditolakdan oleh masyar untuk menyelesaikakat dan DPRD Papua, sehungga bukan lagi merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik papua. Sementara otonomi khusu adalah jalan tengan atau hasi kompromi antara kepentingan NKRI dan rakyat Papua. Seluruh proses politik di papua termasuk pemekaran harus dilaksanakan dalam kerangka otonomi khusus dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas dan mendapatkan persetujuan dari MRP.

Dari Aspek hukum menegaskan bahwa pemekaran dilaksanakan atas dasar undang-undang nomor 45 tahn 1999 berimplikasi bahwa provinsi-provinsi hasil pemekaran tidak mendapatkan Otonomi Khusus karena provinsi papua dimekarkan pada tahun 1999 adalah provinsi Irian Jaya statusnya berbeda dengan dengan provinsi papua yang dimaksud dengan undang-undang nomor 21 tahun 2000. Pemekaran harus bertumpuh pada undang-undang nomor 21 tahun 2000, agar semua provinsi hasil pemekaran dipapua mendapatkan status otonomi khusus.

Pada dasarnya elit yang kontra pemekaran tidak berkeberata dengan pemekaran, namun kata mereka pemekaran itu merupakan kepentingan elit jakarta (pemerintah pusat). Yang menjadi pertanyan pemekaran untuk siapa? Dan ada apa dibalik pemekaran?. Kedua wacana ini terbangun dan jelasnya masing-masing elit akan mempertahankan argumentasinya. Tentunya pemekaran dilakukan untuk kepentingan orang papua guna Kepentingan publik pelayanan publik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik dan kepentingan individu jabatan politik dan kontrol SDA dan juga untuk kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan keutuhan negara kesatuan republik indonesia (NKRI), maka terjadi pertarungan elit lokal terutama elit yang pro dan kontra dan intervensi elit pusat juga menjadi penting ,

Pemekaran provinsi Irian Jaya Barat sebenarnya untuk orang papua secara keseluruhan, dimana tokoh-tokoh organisasi Papua merdeka yang dulunya dengan semangat menperjuangkan merdeka berubah arah menjadi pro pemekaran, dimana para elit ini berasal dari daerah manukwari yang tentunya menginginkan daerahnya dimekarkan. Seluruh orang manokwari dan bebarapa kabupaten yang berada di wilaya Irian Jaya Barat mendukung pemekaran, walaupun sekelompok orang mendukung gerakan merdeka tetapi pro pemekaran tetap berjalan, karena mereka menganggab bahwa dengan pemekaran dapat membawa bawah perubahan dalam pembangunan daerah.

Pemekaran wilayah provinsi Papua baik di tingkatTerkait dengan pemekaran interfensi pemerintah pusat sangat kuat, pemerintah papua berkebratan dan kontra dengan pemekaranaa karena adanya keinginan untuk tidak membagi-bagi kekuasaan sesama orang papua, pemerintahan harus dikendalikan oleh satu pintu yaitu Provinsi Papua dijayapura, namun elit lokal masyarakat dan elit lokal pemerintah daerah Irian Jaya Barat sangat kuat dalam memainkan pran kemudian intervensi elit pusat juga sangat kuat untuk mendukung pemekaran walaupun ada aspek-aspek hukum yang perlu dikaji ulang.

Pemekaran provinsi dan kabupaten juga menjadi tarik menarik di kalangan pro dan kontra. Pemekaran yang dilakukan menurut analisis bahwa dengan melakukan pemekaran di tubuh pemerintah melalui pemekaran wilayah provinsi dan kebupaten di wilayan papua, nantinya akan terjadi juga pemekuaran di tingkat meliter dan kepolisian dimana akan muncul kodam-kodam dan kodim-kodim baru termasuk koramil disetiap daerah pemekaran. Hal ini menjadi ancaman bagi elit-elit politik papua merdeka, yang akan membatasi dan memantau aksi-aksi masyarakat secara langsung.

Namun dengan demikian kuatnya argumen yang dubangun antara pro dan kontra terhadap pemekaran, kekuatan elit yang berkuas mempunyai dominasi kekuasan yang lebih kuat untuk menentukan pemekaran. Kelompok elit yang lain walaupun mempunyai kemampuan argumen yang sesuai dengan aturan-aturan hukum, setiap argumen jangan dilihat sebagai sesuatu yang salah atau benar salah dan benar tetapi semuanya adalah baik tergantung konteks dan makna dari apa yang usulkan dengan tetap mempertahankan OTSUS ataukah pemekran.

Tarik menarik pemekaran ini diletakan pada posisi rana politik sehingga kajiannya semua mengarah kepada kepentinga elit baik elit pro dan kontra di tingkat elit lokal sampai elit pusat. Kekuatan elit pusat mempunya kekuatan karena atas kekuasaannya itulah smengatur segal-galanya dibandingkan deng kelompok elit yang lain seperti yang di tegaskan dalam teori elit “ Teori elit menegaskan misalnya bahwa ialah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori yang luas yang mencakup Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki untuk memerintah, dan Sejumlah besar masa yang ditakdirkan untuk diperintah[6]. Ini menunjukan bahwa sekelompok .kecil orang yang mempunyai sumber daya “elit” mempu mempengaruhi kebijakan dan begitupula sebaliknya sejumlah besarnya masa yang tidak mempunyai kemampuan tentunya pasrah untuk menerima kenyataan walaupun ada sikap yang tidak simpati tetapi sudah ditakdirkan untuk menerima kenyataan.

Terlepas dari kontraversi yang terus menguat antara pemekaran atau status provinsi Mentri Dalam Negeri (Hari Sabarno) melantik Abrahanu Oktovianus Ataruri sebagai Gubernur papua Barat pada bulan november 2003, yang kemudian muncul kritik dari jurubicara DPRD Papua dan pendukung Jaap Salosa. Jhon Ibu mengatakan bahwa pelantikan itu bertentangan dengan Rekomendasi yang dikeluarkan oleh MPR dalam sidang tahunan yang terakhir, dan mendesak pemerintah pusat untuk merbarevisi undang-undang tentang pemisahan papua. Setelah pelantikan Ataruri di jakarta kembali ke manukwari sebagai ibu kota provinsi baru, ditengah perjalanan dari jakarta Ataruri berhenti di Jayapura untuk menyodorkankepada juru bicara John Ibo sebuah pernyataan resmi BIN yang ditanda tangani oleh kepalanya Letnan Jendral Purnawirawan Hendro Priyoirawan, yang isinya berbunyi Ataruri mendapatkan otoritas untuk membangun Irian Jaya Barat.[7] Dilantiknya Ataruri sebagai Gubernur kebanyaakan Elit pemerintah provinsi Papua yakni Gubernur Papua(Jaap Salosa beserta kelompok Sorong “ Ayamaru” , Ketua DPRD Papua John Ibo dan Elit Golkar di tingkat Provinsi Papua semacam kebakaran jenggot, dimana adanya keinginan untuk pemerintahan provinsi hanya terpusat di Jayapura, kekuasaan ditanah papua tidak boleh dibagi-bagikan kepada daerah lain, namun disisi lain Ataruri yang juga merupakan mantan wakil Gubernur bahkan perna bersain bersama Jaap Salosa sebagai gubernur Irian Jaya, semacam muncul sentimen antara satu dan lainnya dan Ataruri ketiga lepas dari wakil gubernur dan Kala dalam pemilihan Gubernur Irian Jaya, sebagai seorang purnawirawan yang energi melakukan upaya pemekaran melalui upaya untuk mengaktifkan kembali Undang-undang nomor 45 tahun 1999. Kemudian Irian Jaya Crisis Centre melakukan loby ke BIN yang melalui kapasitasnya mengirim Surat kepada BIN yang isinya mendesak agar Undang-undang nomor 45 tahun 1999 segera diimplementasikan. Keterlibatan BIN dalam menentukan pemekaran atau pembentukan Irian Jaya Barat sangat kuat, karena hal ini dilakukan untuk kepentingan negara.

Putnam menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin militer mungkin mempunyai pengaruh dalam kebijakan pertahanan, tetapi mereka sedikit sekalih pengaruhnya dalam masalah pertanian. Demikian ada pula ada kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam bidang yang kecil ruang lingkupnya; dan sebaliknya, ada kelompok yang mempunyai pengaruh tidak begitu kuat dalam bidang yang ruang lingkupnya luas. Adapun benang merah yang dapat ditarik dari pendapat putnam tersebut adalah bahwa elit dengan kekuasaan ditangannya dapat memainkan peran beragam kegiatan diberbagai bidang. Besar kecil peran yang dilakukan dan luas sempitnya bidan dimana kegiatan tersebut dilakukan, tergantung antara lain tergantung kemampuan dan kekuasaan yang ada pada diri elit yang bersangkutan. Elit dengan kemampuan dan kekuasaan yang besar tidak menutup kemungkinan untuk memainkan peran yang lebih berarti pada bidang yang ruang lingkupnya juga luas[8]. Dengan demikian pro dan kontra terhadap pemekaran suatu pertarungan elit dimana keputusan dapat diambil oleh elit yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan senada yang sama menurut HAROLD LASSWELL menyebutkan bahwa elite yang paling unggul kedudukannya adalah elite politik; karena dalam lapangan politik keputusan-keputusan disertai dengan sanksi yang paling kuat. Dengan demikian, politik melahirkan keputusan yang otoritatif diantara nilai-nilai yang lain. Karena terkait dengan pemekaran kita berbicara tentang pola kepentingan antara kepentingan masyarakat papua terutama elit birokrasi tetapi juga kepentingan negara dalam hal ini pemerintah pusat, untuk bagaimana mensukseskan kepentingan ini maka harus ada tindakan politik, tindakan politis dapat dilakukan untuk menentukan sikap pilihannya itu ada pada kelompok kepentingan yang mempunyai otoritas, dan mau tidak mau suka tidak suka pasti di terima walaupun ada pihak-pihak yang tidak setuju atau menjadi korban dari politik.

.

IV. Penutup

Daftar pustaka

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005



[1]. DPRP adalah Dewan perwakilan Rakyat Daerah papua dan MRP adalah Majelis Rakyat Papua yang

merupakan keterwakilan masyarakat papua dari berbagai daerah dipapua dan berbagai golongan

agama dan tokoh masyarakat dan kelompok cendikiawan orang papua.

[2] Elit lokal di birokrasi pemerintaha dipapua adalah orang papua yang bekerja di pemerintahan

[3] . kata merdeka mengandung makna berpisah dari NKRI atau bebas dari penjajahan ekonomi,dan

Pembangunan dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

[4] LIPPI, Masyarakat Indonesia, majalah ilmu-ilmu sosial Indonesia Jilid XXX, No.1,2004 ISSN 0125-9989

Halaman 37

[5]. Lihat buku teori politik modern karangan SP. Varma tahun 1982 halaman 200 .

[6] Lihat buku teori politik modern karangan SP. Varma tahun 1982 halaman 197

[7] Jaap Timmer dalam bukunya politik lokal di Indonesia halaman 615 karenagan Henk Scholte dan

Gerri van klinken

[8] Haryanto kekuasaan Elit suatu pengantar cetakan pertama juni 2005, halaman 134-135

Selasa, 09 November 2010

DEMENSI LEMABAGA MASYARAKAT ADAT DALAM PERSPEKTIF OTONOMI KHUSUS PAPUA



       Pengantar
Momentum reformasi di indonesia memberikan peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Bagi rakyat papua reformasi merupakan era kebagkitan untuk memperjuangkan hak-haknya sejak bergabung dengan indonesia diawal tahun 1960 an yang tidak mendapatkan perlakuan.  Keterbelakangan dalam pembangunan secara fisik dan pembangunan sumberdaya manusia yang dirasakan oleh rakyat papua pada umumnya sebagai ingatan akan penderitaan yang kemudian diekpresikan sebagai sejarah penderitaan orang papua menimbulkan reaksi berupa perlawanan-perlawanan dari rakyat papua terbukti dengan adanya beberapa gerakan dalam rakyat papua itu sendiri seperti apa yang disebut oleh Jaap Timmer sebagai kebangkitan papua (Papuan Spring) ekpresi-ekpresi yang timbul dari rakyat papua lebih merupakan ungkapan mereka akan ketidakpercayaan  terhadap pemerintah indonesia yang telah dianggap gagal membangun dan mengangkat harkat dan martabat rakyat papua yang merupakan kompensasi atau tujuan dari bergabungnya papua ke negara Indonesia.
Sebagai salah satu upaya untuk dapat membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, dan merupakan langkah strategis untuk meletakan kerangka dasar demi tuntasnya  berbagai persoalan di Provinsi Papua yaitu dengan memberikan otonomi khusus bagi papua.
Dengan diberlakukannya otonomi khusus dipapua maka secara tidak langsung memberikan keleluasaan bagi rakyat papua untuk dapat lebih mengekpresikan keinginannya dalam menata kehidupanya agar dapat lebih baik dari kondisi sebelumnya. Kebebasan yang diberikan dalam otonomi khusus ini kemudian banyak diartikan oleh rakyat papua sebagai bentuk untuk mempengeruhi pemerintah terutama dilevel pemerintah lokal . Lembaga masyarakat adat sebagai lebaga yang didirikan oleh mesyarakat lokal untuk mengekpresikan kepentingannya mendapatkan legitimasi yang kuat dari masyarakat sehingga apa yang dikemukankan oleh mayarakat melalui lembaga adat merupakan suatu keharusan yang mesti diikuti oleh pemerintahan lokal..
Untuk membahas lebih lanjut bagaimana proses terik menarik kepentingan antar elit di papua khususnya dikabupaten kaimana maka ada baiknya kami memetakan tentang elit yang ada di kabupaten kaimana sebagai berikut :
1.    Elit Politik, terdiri dari para birokrat  dan Elit Partai Politik yang memeiliki kewenangan dalan hal regulasi kebijakan.
2.    Elit  Ekonomi,  didominasi oleh Kelompok  orang-orang Cina, elit ekonomi di kabupaten kaimana dalam melakukan dominasinya di bidang perekonomian bekerja sama dengan elit politik (oligarki).
3.     Elit Budaya, elit budaya  terdiri dari tokoh –tokoh adat, tokoh agama dan  tokoh masyarakat yang memiliki kompetensi dan memiliki representasi budaya. Elit Budaya ini muncul  karena dianggap mempunyai kekuatan mempengaruhi dan menekan dalam berbagai pembuatan kebijakan oleh pemerintah.

Tulisan ini mengulas tentang peran lembaga adat khususnya lembaga adat yang ada di kabupaten kaimana dalam mempengaruhi kebijakan pemerintahan dikabupaten kaimana.

Papua menjadi salah satu arena politk yang cukup menarik untuk kita bahas. Kompleksitas dimensi kekuasaan yang menjadi konsekuwensi dari distribusi kekuasaan. Semenjak zaman orde baru, masyarakat papua hanya menjadi obyek eksploitasi elit nasional. Kekayaan Sumber Daya Alam dan budaya kesukuan yang kuat, dijadikan sebagai obyek kekuasaan elit nasional. Tidak hanya itu, kompensasi dari sumberdaya yang mereka miliki, tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan. Kesenjangan dan ketidakadilan sangat Nampak dari apa yang masyarakat papua peroleh. Diatas kertas, sesungguhnya kekayaan alam papua, apabila di optimalkan untuk kesejahteraan masyarakat local, maka hasilnya pasti akan melimpah. Namun sebaliknya sirkulasi keuntungan pengelolaan sumber daya alam hanya terjadi di pusat dan di korupsi oleh beberapa pejabat.

Meminjam istilah Mosca dan Poerto, jika kekuasaan tak pernah terdistribusi secara sepadan, ketidak-sepadanan distribusi kekuasaan terkait dengan perbedaan fisik, intelektual, dan kualitas moral, maka akan melahirkan kelompok-kelompok yang resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Berakhirnya orde baru, berganti dengan desentralisasi yang ditandai dengan adanya distribusi kekuasaan sampai ke level daerah, melahirkan elit-elit baru (the rulling elite), ditingkat daerah.


Kondisi semacam ini memunculkan letupan-letupan protes yang terorganisir serta dan memiliki legitimasi Negara lain, menjadikan letupan-letupan protes terakumulasi dalam organisasi papua merdeka (OPM). Organisasi ini memunculkan reaksi pemerintah dengan memberangus organisasi ini, korban pun banyak berguguran. Dan cara ini pun mendapatkan kecaman dari berbagai fihak. Akhirnya memunculkan solusi untuk memberikan otonomi khusus pada Papua.
Otonomi khusus diberikan kepada provinsi papua, dikarenakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.
Permasalahan yang muncul sekarang adalah, ketidakpastian dan ketidakjelasan regulasi dari pemerintah pusat terhadap masyarakat papua yang diwakili oleh Masyarakat Adat Papua (MAP), melahirkan konflik kepentingan ditingkat local. Masyarakat yang sidah ditrus terhadap pemerintah dan mencabut legitimasi terhadap pemerintah, dan sebaliknya legitimasi masyarakat papua diberkan kepada dewan adat papua. Tentunya akan menjadi konflik kepentingan yang sangat akut, disatu sisi pemerintah dengan kuasa dan wewenang namun tidak memiliki legitimasi dari masyarakat merupakan cermin dari weak state, namun keberadaan masyarakat adat yang memiliki legtimasi dari rakyat papua melahirkan strong men di daerah papua.
Hal ini senada juga dengan apa yang dikatakan oleh Migdal, setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai pemimpin, dimana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Dan setiap masyarakat memiliki social capacity yang memungkinkan mereka untuk menerapkan aturan main mereka tanpa diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara untuk mengontrol melemah (weak state) maka para strongmen menampakan kekuasaannnya dalam level lokal.

Undang-undang republik indonesia  nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi provinsi papua, memberikan angin segar terhadap perubahan untuk  mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat papua. Angin segar ini menjadi legitimasi bagi Masyarakat Adat Papua (MPA), untuk memiliki otoritas dalam mengatur distribusi kesejahteraan di Propinsi Papua. Otoritas yang dimiliki oleh lembaga Adat Papua, berdampak sangat besar terhadap eksistensi Negara. Berbagai kebijakan Negara (pemerintah Formal), tidak akan berlaku manakala tidak disetujui oleh Lembaga Adat. Begitu pun sebaliknya, segala bentuk kebutuhan masyarakat papua yang disalurkan melalui Lembaga Adat akan diakomodir walaupun tidak disetujui oleh pemerintah.

Kondisi semacam ini, membuktikan bahwa eksistensi Negara ditunjukkan dengan kelemahan Negara dalam mengelola kekuasan di papua.  Negara tidak lebih dari sekedar formalitas dan rutinitas dalam membagi-bagi uang rakyat. Namun sebaliknya lembaga Adat Papua (LPA), menunjukkan eksistensinya dalam bentuk kekuasaan yang diakui dan mendapatkan legitimasi dari rakyat. Kehadiran Lembaga Masyarakat Adat di seluruh Tanah Papua lebih khusus di Kaimana, secara hukum di akui dan mendapat legitimasi dari Pemerintah dan Masyarakat.

Kabupaten Keimana, adalah salah satu kabupaten yang masuk dalam otoritas Lembaga Adat Papua. Di daerah ini, peran Lembaga Adat sangat dominan, mulai dari pemanfaatan Sumber Daya Alam (pertambangan, perhutanan, kelautan), berperan dalam proses recruitmen calon pegawai negeri, bahkan untuk menempati jabatan strategis (politik), harus atas persetujuan Lembaga Adat. Kita akan melihat beberapa contoh kasus yang terjadi, yang merupakan pertarungan kekuasaan dan legitimasi rakyat di papua, antara lain :
1.    Kasus  Ilagal loging
2.    Kasus  pendirian pabrik ikan di  teluk Triton.
Teluk Triton merupakan wilayah konservasi laut, yang didalamnya terdapat biota laut tumbuh. Selain itu teluk Triton menjadi tempat migrasi ikan dari Australia. Apabila suhu Australia dingin ikan-ikan migrasi dari Australia ke keimana papua (teluk triton). Disini ikan-ikan itu kumpul dan berkembangbiak.

pembangunan pabrik ikan diwilayah teluk, merupakan keinginan pasar dan kepentingan masyarakat local kaimana. Namun kalau kita Melihat dari aspek lingkungan, tentunya sangat tidak bijak, manakala didaerah treluk itu dibangun pabrik ikan. Tentunya juga secara Analisa Mengenai  Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak lolos karena merusak lingkungan. Dalam hal ini pemerintah memposisikan diri untuk menolak pembangunan pabrik ikan di teluk triton kaimana, karena tidak lolos AMDAL. Namun apa yang terjadi, keputusan pemerintah itu tidak menyurutkan industry untuk mendirikan pabrik ikan karena mendapatkan legitimasi dari Lembaga Adat Papua (LAP).

Harun Sabuku Ketua Dewan Adat Masyarakat Kaimana terpilih atas Msyawarah Adat pada tanggal  26- 28 Oktober 2009  dalam sambutan perdananya pada pelantikan sekaligus penutupan Musyawarah Daerah pada tanggal, 28 Oktober 2009 di Kaimana mengatakan, keberadaan Dewan Adat Kaimana dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat asli Kaimana yang menurutnya dulu kurang dilihat pemerintah daerah. Kehadiran Lembaga Adat, tegas Harun, bukan suatu tandingan dengan lembaga Pemerintah, melainkan pemerintah merupakan mitra lembaga adat.
Saya mau jelaskan bahwa fungsi lembaga adat sebagai pengontrol bukan pengambil keputusan. Kedepan diharapkan pemerintah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat asli Kaimana baik pendidikan, kesehatan serta perekonomian masyarakat,” tukas Ketua Dewan Adat terpilih.
Lebih lanjut Harun Sabuku memaparkan rencana kerja yang sudah dirancang kedepan, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Terkait dengan rencana jangka pendek yang akan digebrak Dewan Adat Kaimana yakni segera menata struktur lembaga adat, mulai dari tingkat wilayah hingga tingkat kampung, sehingga penyebaran informasi terkait program dan proses pembangunan Kabupaten Kaimana mudah diperoleh, baik dari tingkat pusat hingga tingkat bawah.
Persoalan tanah, batas-batas tanah adat hingga marga, kata Harun, menjadi bagian dari rencana jangka panjang yang harus dikerjakan kepengurusan Dewan Adat Kaimana terpilih. Ketua Dewan Adat terpilih berharap Pemda, DPRD serta pihak lainnya agar selalu menjadi mitra dan mampu memupuk kerjasama yang baik. Dengan demikian masyarakat Adat Kaimana kedepan menjadi masyarakat adat yang bermartabat dan kuat untuk menata masa depan dengan karya pembangunan, guna memajukan negeri ini kepada kesejahteraan masyarakat adat Kaimana,
(Radar Sorong, 29 Oktober,2009 )

       Demensi Lembaga Masyarakat Adat  Kaimana
Otonomi khusus papua ini mejadi krang demokrasi di Papua, masyarakat bawa juga mempunyai peran dan partisipasi dalam proses demokrasi di Tanah Papua, kran demokrasi ini lahir karena sekian lama masyarakat papua hidup dalam tekanan  politik pembangunan yang membuat sulit berekspresi dan memainkan perannya sebagai orang asli.
Dengan munculnya Otonomi khusus papua semacan adanya suatu rahmat, yang memberikan peluang bagi orang Papua untuk menentukan nasibnya di tanah sendiri, dengan memberikan wacana-wacana politik dan demokrasi termasuk Pambangunan, namun hal ini tidak bias dilakukan secara person perlu adanya lembaga-lembaga adat yang mengakomodir kepentingan  orang papua diluar  mekanisme pemerintahan, maka dibentuk atau lahirlah suatu lembaga yang dinamakan  Dewan Masyarakat  Adat Papua (Dewan Adat Papua )  untuk tingkat Provinsi dan Lembaga Dewan adat (LMA) untuk tingkat Kabupaten, yang dibentuk dengan tujuan menjadi mitra strategis pemerintah dalam memberikan masukan, saran sebagai kontribusi dan juga media yang memberikan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah demi keberhasilan pembangunan di Papua.

Kehadiran lembaga Masyarakat Adat di Kaimana  sangat meresahkan masyarakat, walaupun secara substansinya sebagai  lembaga lokal yang memberikan kontribusi kepada Pemerintah sekaligis mengontrol kebijakan Pembangunan dan Kinerja Aparatu Pemerintah. Namun dalan kenyataannya banyak tindakan dan hal yang bertentangan dengan wilayah kerja Pemerintah Daerah, namun secara sadar maupun tidak sadar wilayah itu sudah dimasuki dan berusaha mempengaruhinya.
LMA Kaimana ada sebagaian orang yang tidak meresponi karena banyak mencampuri  wilayah orang lain  (hak orang ) pada  ini fakta menunjukan bahwa mau tidak mau suka tidak suka  harus menerima kenyataan. Robert A. Dhal menyatakan Pemikirannya bahwa  Konsep Kekuasaan merujuk  adanya  kemampuan untuk mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu pihak kepada Pihak lain. Demikian halnya yang dilakukan oleh Lembaga Masyarakat  Adat Kaimana.

     Tugas  Fungsi dan Kewenangan
·            Tugas LMA Kaimana
 Melaksanakan hasil Ketetapan Musyawarah Daerah Lembaga Masyarakat Adat Kaimana.
·            Fungsi LMA Kaimana
-       Fungsi Lembaga  Masyarakat Adat Kaimana sebagai Pengontrol yakni dengan melakukan Pengawasan dan pengendalian terhadap kebijakan pemerintah.
-       Memberikan perlindungan terhadap hak-hak Dasar Masyarakat Adat,
-       Melestarikan nilai-nilai budaya Masyarakat  Adat Kaimana.
-       Menjamin kelangsungan kehidupan yang damai melalui hidup kebersamaan,  kerukunan antar umat beragama, suku, ras adat istiada dan budaya
-       Mendorong terciptanya kesejahtraan dan penghidupan yang layak bagi  Masyarakat Asli Kaimana, melalui Pemberian kesempatan  berpendidikan, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pekerjaan. ( Menjadi tuan di negeri sendiri).

Eksistensi Lembaga Masyarakat Adat Kaimana dalam melakukan fungsi-fungsi pengambilan keputusan terhadap suatu kebijakan, kadang-kadang bertentangan dengan apa yang menjadi fungsi-fungsi organisasi, dan cukup berkuasa, dimana berusahaan mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat lainnya bahkan pemerintah agar tetap mengakui dan atau mengikuti apa mau nya LMA dan kelompok lain baik secara person maupun kelompok lain mengikutinya.  Laswal dan Kaplan mengatakan bahwa “ kekuasaan dianggab sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingka laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingka laku  pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan”. 

LMA Kaimana ada sebagaian orang yang tidak meresponi karena banyak mencampuri  wilayah orang lain  (hak orang ) pada  ini fakta menunjukan bahwa mau tidak mau suka tidak suka  harus menerima kenyataan.

·            Kewenagan LMA Kaimana
Kewenagana Lembaga Masyarakat adat  melestarikan nilai-nilai  Adat, nomrma –normat, pola-pola hidup yang baik di masyarakat.
Menyampaikan dan menyalurkan Aspirasi Masyarakat  terkait dengan kehidupan sosial budaya Masyarakat.

 
  Peran LMA dalam mempengaruhi kebijakan Pemerintah
Kaimana Merupakan wilayah sangat strategis dan menjamin keamanan untuk para invester untuk berinvestasi di Kabupatan. Beberapa sector yang menjadi unggulan daerah adalah sektor Kehutanan dan kelautan disamping pertanian perkembunan dan sektor suasta lainnya.
Peluan ini menjadi  Perhatian para  investor untuk berinvestasi di Kaimana. Diantara sekian banyak peluang yang menjadi perhatian yang menarik adalah : Kebijakan terhadap Ekploitasi  Sumber Daya Alam seperti Eksploitasi Sumber Daya Hutan  dan Eksploitasi Sumber Daya Laut  disamping peran-peran lain yang mempengaruhi Kabijakan Pemerintah lainnya:

A.   Peranan  LMA terhadap Investor
a.    Investasi Hasil Hutan
Peran Lembaga Masyarakat Adat dalam memberikan jaminan dan merespon kehadiran investor di Kaimana sangat luar biasa. Ketika ada masyarakat adat yang mempunyai wilayah adat  yang dianggap berpotensi terutama hasil  hutan berupa kayu, mereka langsung mencari invester dan beroperasi di wilayahnya  seringkali tanpa melalui pemerintah dan analisis AMDAL. Perusahaan tersebut langsung beroperasi, ketika ada masalah contohnya seperti  pengurusan Surat Ijin Operasi dan Surat Pemuatan selalu mengalami masalah dan pembayaran kubikasi kayu yang tidak sesuai dan  Perjanjian lisan antara perusahan dan masyarakat yang tidak ditepati, meneyebabkan terjadinya konflik  antara masyarakat  maupun antara masyarakat dengan pihak investor.
Ketika ada masalah seperti yang digambarkan di atas kemudian LMA bertemu dengan pemerintah untuk mengurusi masalah. Pemerintah binggung dan bertanya kapan Parusahan beroperasi dan siapa yang mengeluarkan Ijin Kelayakannya. Jawabannya adalah LMA yang mengeluarkan  Rekomendasi untuk beroperasi di wilayah Adatnya.

b.    Investasi Hasil Laut
Investasi hasil laut  dimana ada beberapa perusahaan yang beroperasi di di Kaimana dimana  berusahaan lebih dulu beroperasi dalam hal penangkapan dan pengumpulan hasil ikan melalui rekomendasi  masyarakat lokal dan LMA, ketika Pemerintah mengetahui ada perusahaan ikan yang beroperasi pemerintah memanggil  Pihak Perusahaan dan Masyarakat lokal termasuk LMA, untuk melakukan Study AMDAL terlebih dahulu, masyarakat bertanya AMDAL itu apa?, Bukan Amdal yang  memberikan uang kepada kami, perusahaan yang memberikan uang kepada kami. Hasil AMDAL memutuskan melarang perusahan untuk beroperasi, karena itu adalah wilayah konservasi. Masyarakat bertanya konservasi  itu apa? Kami juga  butuh makan, butuh uang untuk anak sekolah dan lain-lain, dan sampai saat ini masih beroperasi walaupun pemerintah sudah melarang tetapi tetap saja mempertahankan untuk tetap beroperasi.
Persoalan di atas memberikan gambaran bahwa intervensi adat lebih dominan dari pada pemerintah, karena kelompok adat memiliki kapital sosial lebih dominan dibanding pemerintah. Disini dapat kita lihat bahwa kekuasaan adat lebih besar ketimbang kekuasaan pemerintah, dengan memiliki kapital sosial sehingga lembaga adat menjalankan kekuasaannya, hal ini sebagaimana Pierre Bourdieu[1]  menggambarkan bahwa kapital mampu menjelaskan hubungan kekuasaan, karena kapital terakumulasi melalui intervensi, kapital bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan, kapital dapat member keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki untuk mendapatkannya, capital merupakan hubungan sosial, energi sosial yang hanya akan menghasilkan melalui perjuangan dan pelaku menempati posisi sosial ditentukan oleh besarnya kapital dan bobot komposisinya.

Lembaga adat yang dominan memiliki capital social sehingga investor yang secara bebas mengeksploitasi hasil laut yang ada di Kaimana, dengan berdalih persoalan ekonomi, demikian maka saharusnya peran pemerintah yang notabene memiliki capital ekonomi untuk menyelesaikan persoalan ini sehingga sumber daya laut yang masuk dalam ranah konservasi dapat dilestarikan.
Peran pemerintah dalam kasus ini,

B.   Mempengaruhi  Strukturasi  Birokrasi Pemerintah
Dalam Rekriutmen Jabatan Struktural dalam Pemerintah, LMA juga mengambil peran yang besar dalam memberikan masukan bahkan sudah menentukan si A harus menduduki jabatan ini, si B harus menduduki jabatan ini, jika tidak maka LMA akan melakukan tindakan kekerasan kepada Pemerintah.

Demikian halnya dengan Seleksi penerimaan CPNS, LMA, mendesak pemerintah dan ikut menentukan bakal calon yang akan mendaftarkan diri untuk mengikuti Pendaftaran seleksi CPNS di Kabupaten Kaimana.

C.   Peran LMA dalam Kontekstasi Politik
LMA dalam berdinamika Politik di Kaimana cukup memberikan nuansa politik yang cukup tinggi. Berbagai upaya yang dilakukan dalam pemilihan Legislatif LMA terbentur dengan aturan formal yang tidak bisa diganggu gugat, sehingga tidak mampu untuk merubah produk legislative hasil pileg, sekarang  lagi memberikan wacana untuk ketua DPRD Kabupaten Kaimana harus orang asli papua (kaimana) dan mereka sudah melihat siapa orang yang akan di dukung.

Tidak kala penting juga dalam menentukan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daeeah, harus  Putra Asli Kaimana, dan itu mereka perjuangkan dan jika tidak terpilih secara hukum, maka LMA sering menjadi kelompok oposisi yang mempengaruhi kinerja Pemerintah dan menghambat proses pembangunan di Kabupaten Kaimana, bahkan sampai pembagian proyek-proyek yang ada di kabupaten Kaimana. 
Kesimpulan
1.    Dikaimana terdapat elit politik, elit ekonomi (kelompok cina) dan elit budaya, yang masing-masing mepunyai peran yang berbeda.
2.    Keberadaan elit politik dan ekonomi yang dominan dalam mengatur Resource yang ada, mengakibatkan munculnya representasi masyarakat lokal (LMA), yang melakukan  presure terhadap kebijakan pemerintah dimana dominasi elit politik dan ekonomi mempengaruhi kebijakan pembangunan
3.    Kemunculan elit budaya, diatur dalam undang-undang Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001.
4.    Elit budaya (LMA) yang mucul, pada kenyataannya lebih dominan dalam menekan / memberikan presure kepada elit politik termasuk pemerintah daerah dalam pembuatan kebijakan manakala terjadi bergeseran nilai-nilai adat, dan agama yang membuat diskriminatif penduduk lokal, sehingga LMA ini hadir untuk memberikan penekanan-penekanan pada pemerintah termasuk memberikan presure terhadap pemerintah terkait dengan berbagai kebijakan, selain itu  gula-gula otonomi khusus tidah memberikan harapan bagi masyarakat, masyarakat bangga dengan sebutan OTSUS tetapi substansi dan dampak dari OTSUS  tidak memberikan makna, dengan demikian  Peran LMA  melampaui apa yang menjadi fungsi dan perannya, dan hal ini sangat mempengaruhi kebijakan pemertintah,sehingga keberadaan LMA, secara tidak langsung melemahkan struktur Negara (Pemerintah).misalnya dalam penerimaan PNS, LMA juga ikut menyeleksi berkas calon pendaftar
Daftar  Pustaka

Musa”ad Moahammad,        Penguatan Otonomi Daerah dibalik bayang-banyangAncaman
                                                  Disintegrasi,   Democratic Center Uncen, Jayapura,2005

Haryatmoko                          Etika Politik dan Kekuasaan ,  Compas , Jakarta, 2003

Haryanto,                              Kekuasaan dan Elit “ Suatu Pembahasan Pengantar  ,
                                                 Prog. Pasca Sarja  PLOD  UGM, Jogjakarta, 2005

Materi perkuliahan teori Politik, jurusan PLOD semester   I       






[1] Haryatmoko. 2009. Materi Kuliah Filsafat Politik, Konsep Habitus dalam Mekanisme dan Strategi kekuasaan, Studi Pemikiran Sosial Pierre Bourdieu. Hal. 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar