KONFLIK ELIT LOKAL DALAM PEMBENTUKAN PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

I. Pendahuluan

Provinsi Irian Jaya Barat berdiri berdasarkan undang-undang nomor 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. dan dipercepat dengan inpres nomor 1/2003. Berdirinya provinsi Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan Pemerintah Pusat pada tanggal 16 september 2002. Dalam dialog dengan Mentri koordinator Politik dan Keamanan dan Mentri Dalam Negeri, mereka menyampaikan aspirasi agar segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah di tetapkan pada tanggal 12 oktober 1999 oleh Pemerintah pusat. Kedatangan para tokoh masyarakat Irian Jaya Barat ini sangat meningkatkannya bergening politik terhadap Pemerintah Pusat. Sehingga diterima oleh Presiden republik Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 21 september 2009. Pemerintah Pusat menanggapi aspirasi masyarakat dengan mengeluarkan Inpres nomor 1 tahun 2003.

Dalam pembentukan Provinsi Irian jaga barat tidak terjadi kekerasan namaun pro dan kontra dikalangan masyarakat. berbeda Pandangan yang ada pada masyarakat dimana pembentukan provinsi ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat namun disisi lain terjadi kontrafersi dimana diasumsikan bahwa pembentukan provinsi ini seolah – olah untuk kepentingan jangka pendek yakni untuk kepentingan Pemilu 2004.

Pendirian Provinsi Irian Jaya Barat dipengaruhi oleh para elit lokal baik masyarakat maupun DPRD Kabupaten Manokwari. Elit masyarakat terdiri dari kepala kepala suku, organisasi gereja, LSM, Perguruan Tinggi, Aktivis Perempuan, diantara elit elit lokal kepala Suku memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk opini masyarakat. Tentunya dengan berbagai karakteristik masyarakat Papua (Irian Jaya barat) yang memiliki 250 lebih suku yang otonom satu dengan yang lain. Peran para kepala suku terutama yang berada di kabupaten Manokwari memberikan pemahaman atau membangun oponi publik sebagai upaya sosialisasi, walaupun demikian kepala suku hanya memiliki peran yang penting hanya pada tingkat masyarakat Adat dan memberikan opini dan sebagai juru bicara yang menyampaikan aspirasi warganya ( juru bicara masyarakat), kemudian Elit Pemerintah Daerah dan DPRD berperan sebagai aktor-aktor pengambilan kebijakan sekaligus sebagai pengontrol pendistribusian sumber daya.

Tanggapan masyarakat terutama Elit lokal terhadap pemekaran provinsi Irian Jaya Barat dapat dikatogorikan terdapat dua sikap yang berbeda yakni ada sebagian elit lokal yang pro terhadap pemekaran tetapi juga ada sebagian elit lokal kontra dengan pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Dari perbedaan pandangan terhadap pemekaran provinsi Irian Jaya Barat ini menjadi suatu wacana serius, karena pembentukan suatu provinsi harus mendapat dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, dengan demikian proses negosiasi tetap dilakukan antara pihak-pihak yang pro dan pihak-pihak yang kontra terhadap pemekaran terutama para elit lokal. Sikap elit yang menerima dan menolak pemekaran terdiri dari elit Pemerintah dan Elit lokal seperti tampak dibawah ini :

Pada Prinsipnya Pemerintah Kabupaten manokwari dan Provinsi Irian jaya barat mendukung namun pada pada level Elit Lokal terdapat dua kontar versi atar dua kelompok elit yaitu elit lokal yang pro pemekaran adalah : Suku Arfa besar, Suku Ayamaru, Suku Doreri, Media Masa, UNIPA, Ikatan Pemuda Arfak, Mahasiswa. Dan kelompok elit yang kontra terhadap pemekaran adalah Sekolah Tinggi ilmu Hukum manokwari, LP3BH, YPLBC, GMKI, Aktivis Perempuan, GKIT Klasis Manokwari. Dari beberpa Elit lokal yang memangku jabatan sebagai kepala suku adalah juga merupakan pegawai negeri di berbagai instansi termasuk kepala kelurahan.

Orang-orang yang memiliki kemampuan sumber daya manusia adalah orang-orang yang bersal dari kepala-kepala Suku dengan demikian pendistribusian kekuasaan suku-suku besar ini tersebar diberbagai jajaran birokrasi pemerintahan, baik Pemerintahan Provinsi maupun di kabupaten yang mendukung pemekaran provinsi Irian Jaya Barat.

Tokoh utama dari penjuangan pemekaran ini adalah penjabat Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat (Abraham O Ataruri) dan Bupati Manokwari (Dominggus Mandacan), ketua Bappeda, kepala – kepala Dinas, Ketua dan wakil ketua DPRD.

Disisi lain pihak-pihak yang menolak pemekaran berasal dari LSM dan gereja Protestan. Tokoh-Tokohnya antara lain Offni Simbiak (ketua GKIT Klasis Manokwari), Sehat Saragih (Ketua YPLBC), Yan Cristian Warinussy ( Ketua LP3BH ) dan A. Dhanie (Aktifis Perempuan). Elit – elit tersebut bekerja pada lapisan Grass roots sehingga pada tingkat tertentu juga menggambarkan aspirasi masyarakat. Pranan mereka juga menyelesaikan konflik baik sesama pemerintah maupun anggota masyarakat.

Dalam tulisan ini juga melihat pemekaran sebagai alat untuk mencegah perkembangan gerakan separatis Papua. Permasalahannya adalah langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjaga agar pemekaran dapat berjalan secara efektif, sehingga dalam jangka panjang mampu menjaga integritas Papua dalam NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Tentunya muncul pertanyaan ada apa dengan pemekaran?, jika hanya mau mencegah gerakan separatis papua yang dikenal dengan OPM guna menjaga integrasi bangsa. Dari pertanyaan diatas ada empat alasan utama untuk mendukung pemekaran, Pertama, Pemekaran dilakukan untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, sehingga mempercepat pemerataan pembangunan. Mempercepat pemerataan pembangunan di perlukan untuk menjawab keterisolasian pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dan juga mampu menjangkau kabupaten-kabupaten dan Distrik-distrik, desa-desa, kampung-kampung yang jaraknya sangat jauh.

Wilayah papua yang sangat luas dan sulit dijangkau menyebabkan pelayanan pemerintah tidak berjalan baik terutama disektor kesehatan, pendidikan dan permukiman. Kedua Pemekaran akan memperbanyak jabatan politik seperti Gubernur, Bupati, Kepala Distrik, Kepala kampung, dan jabatan-jabatan strategis lainnya, justru memperkuat kedudukan orang papua sebagai “ tuan” dinegrinya sendiri. Ketiga , untuk memajukan kesejahtraan masyarakat dan memajukan pembangunan ekonomi daerah dan usaha-usah lainnya guna meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Keempat, Untuk mempertahankan Integrasi dengan NKRI, yang dengan banyak provinsi maka persatuan dan nasionalisme akan semakin lemah sehingga bisa dipatahkan.

II. Pro dan Kontra Pemekaran Provinsi irian jaya barat

Dinamika politik dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat memberikan suatu orientasi nilai yang berarti bagi comunitas masyarakat Papua yang berada di wilayalah provinsi irian jaya barat, tentunya dinamika ini dilandasi dengan berbagai macam kepentingan politik, karena proses pembentukan provinsi ini merupakan rana politik yang harus di cermati secara mendalam. Pembentukan provinsi ini menunjukan bahwa masyarakat papua ingin suatu perubahan, maka muncul beberapa elit lokal yang mendukung pemekaran privinsi, namun tetapi ada sekelompok elit lokal yang memandang bahwa pembentukan provinsi irian jaya barat ini secara tidak langsung membaga orang papua dalam bebarap wilayah politik dan kekuatan oirang papua menjadi tercerai berai dan akan masuklah kekuatan baru yang memanfaatkan situasi ini maka munculnya kontra terhadap pemekaran wilayah.

A. Elit Lokal Pro Pemekaran

Pemekaran provinsi Irian Jaya Barat disambut baik oleh para Elit lokal masyarakat pro-pemekaran. Elit masyarakat pro-pemekaran terdiri dari kalangan kepal suku dan perguruan tinggi. Pemekaran provinsi mempunyai sutu harapan bahwa dengan pemekaran dapat memperpendek rentang kendali pemerintahan dan Pembangunan, guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat melalui peningkatan Pertumbuhan Ekonomi masyarakat, selain itu mendorong untuk mempererat hubungan persaudaraan melalui pembukaan wilayah-wilayah terisolir sehingga mereka saling kenal-mengenal,membuka jalur daerah-daerah terisolir maka pembangunan ekonomi ke depan akan lebih baik melalui usaha-usaha ekonomi masyarakt guna memperbaikan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat. Mempercepat pemerataan pembangunan di perlukan untuk menjawab keterisolasian pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dan juga mampu menjangkau kabupaten-kabupaten dan Distrik-distrik, desa-desa, kampung-kampung yang jaraknya sangat jauh.

Masyarakat dapat terjamaah oleh pendidikan yang layak, mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, atau menciptakan lapangan kerja baru melalui inverstor yang menanamkan modalnya di provinsi Irian Jaya Barat.

Pemekaran akan memperbanyak jabatan politik seperti Gubernur, Bupati, Kepala Distrik, Kepala kampung, dan jabatan-jabatan strategis lainnya, justru memperkuat kedudukan orang papua sebagai “ tuan” dinegrinya sendiri. Tetapi juga untuk mempertahankan Integrasi dengan NKRI, yang dengan banyak provinsi maka persatuan dan nasionalisme akan semakin lemah sehingga bisa dipatahkan, seberti yang dijelaskan pada halaman pendahuluan. Elit-elit pro – pemekaran mengatakan bahwa pada prinsipnya suatu hal yang mereka kontra terhadap pemekaran adalah mereka masi ingin memperjuangkan kemerdekaan papua. Dengan banyak pemekaran maka lemah gerakan papua merdeka.

B. Elit Lokal Kontra Pemekaran

Kelompok kontra pemekaran terdiri dari kalangan LSM dan Gereja kristen yang juga memiliki pengaruh secara riil pada masyarakat tingkat bawah. Kelompok ini terdiri dari LSM dan gereja Protestan. GKIT Klasis Manokwari, YPLBC,LP3BH,Aktivis Perempuan. Elit – elit tersebut bekerja pada lapisan Grass roots sehingga pada tingkat tertentu juga menggambarkan aspirasi masyarakat. Pranan mereka juga menyelesaikan konflik baik sesama pemerintah maupun anggota masyarakat.

Di akui bahwa pemekaran wilayah akan memperpendek rentang kendali pemerintahan, akan membuka peluang usaha percepatan pembangunan perekonomian masyarakat. Namun demikian pemekaran harus berpijak pada otonomi khusus yang telah ditetapkan dalam undang-undang nomor 21 tahun 2000 agar semuanya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang OTSUS Papua.

Analisis yang menjadi dasar untuk menolak pemekaran adalah beragam yakni dari aspek hukum, Sosial Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya tetapi juga pemekaran wilayan membuat kekuatan orang papua tentang gerakan kemerdekaan menjadi lemah karena terpecah – pecah suatu kekuatan besar.

Disisilain pemekaran wilayah Provinsi Irian Jaya menjadi 3 (tiga) bagian termasuk Provinsi Irian Jaya Barat yang di tetapkan dengan Undang-undang nomor 45 tahun 1999 ini menjadi lemah dasar hukum karena muncul lagi undang-undang nomor 21 tahun 2000 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.

Otonomi khusu adalah merupakan kebijakan resolusi konflik yang merupakam kompromi jalan tengah antara masyarakat papua yang ingin merdeka dengan kepentingan NKRI yang ingin tetap mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia, dengan demikian apapun kebijakan pemerintah pusat terhadapa papua harus diletakan pada konteks Otonomi khusus baik mengenai pemekaran maupun tentang persoalan sosial ekonomi dan budara lainnya. Pemekaran maupun kebijakan lainnya hendaknya dilihat secara proprorsional dan aspiratif melalui lembaga aspirasi masyarakat yaitu DPRP dan MRP[1]

Ada semacam motivasi bahwa jika pemekaran tetap dilakukan maka akan muncul kekuatan-kekuatan Elit pemerintah (negarengaa) yang menggagalkan perjuangan Papua merdek, mana kala orang papua akan dikotak-kotakan menjadi bagian yang tidak berdaya (lemah) sehingga sulit untuk memperjuangkan kemerdekan.

III. Konflik elit lokal dalam pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat

A. Realalitas Kontekstual

Dalam sejarah panjang orang papua hidup dalam keterbelakangan pembangunan dimana hasil pembangunan senantiasa tidak menyentuh dan merubah posis masyarakat dari berbagai belenggu ketertinggal, kemiskinan dan kebodohan diatas negri yang kaya raya dan menghasilkan emas yang selalu dibanggakan oleh bangsa Indonesia, namun kebanggaan itu tidak memberikan maanfaat yang signifikan terhadap apa yang diamiliki. Sejarah bangsa yang panjang dengan papua (Irian Jaya) telah menghasilkan banyak sesuatu yang patut dibanggakan oleh negara indonesia namun dalam implementasi pembangunan orang papua hanya dipandang dari sebelah mata “ anak tiri pembangunan”. Dari berbagai dilemah dan masalah-masalah mendasar maka munculnya bebarapa gerangkan – gerakan yang dianggab separatis yang di lakukan oleh kelompok-kelompok yang menentang pemerintah Indonesia.

Kelompok-kelompok ini berjuangan dan melawan yang namanya penindasan diatas negeri “ ketertinggalan” dalam berbagai aspek termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan, ekonomi, dan pembangunan masyarakat secara holistik, maka adanya upaya-upaya memisahkan diri dari Negara Kesetuan Republik Indonesi ( NKRI) dengan muncul gerakan-gerakan yang disebut dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Organisasi Papua Merdeka yang di singkat OPM saya maknai sebagai suatu fenomena dimana makna OPM sebenarnya Orang Papua Menangis tentunya menjadi pertanya mengapa orang papua menangis? Karena miskin diatas negerinya sendiri yang kaya akan kekayaan alam, mengapa miskin karena hidup dalam kegelapan ilmu pengetahuan, sulit mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dikatanakan “kemiskinan struktural”.

Pergerakan ini bukan hanya dilakukan oleh Elit masyarakat lokal masyarakat tetapi ada juga elit lokal yang berada dibirokrasi pemerintahan di papua[2] hanya saja sepintas lalu tidak menampakan dasarnya apa ? karena pasti orang Papua ingin merdeka.[3]

Gerakan Organisasi papua merdeka ini dianggab mengganggu kestabilan negara maka dikeluarkannya Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, di ikuti dengan dilantiknya Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, dengan melantik Gubernur Herman Monim sebagai Gubernur Irian jaya tengan dan Abraham O Atari sebagai Gubernur Irian Jaya Barat, pelantikan tersebut membuat kontra antara mahasiswa dan sebagian elit masyarakat terhadap sebagian elit masyarakat dan elit pemerintahan, diharapkan kebijakan ini dapat menyelesaikan permasalahan di Papua, namun justru lebih mempertajam permasalahan.

Kemudian di ikuti dengan penerimaan CPNS tahun 2000 dengan istilah Foker 2000 dimana kebijakan pemerintahan Pusat untuk membuka peluang bagi orang papua bekerja di pemerintahan dengan menerima 2000 pegawai.

Pembentukan Provinsi Irian jaga barat tidak terjadi kekerasan namaun pro dan kontra dikalangan masyarakat. Pro dan kontra ini diawali dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 45/1999, kemudian atas pertemuan Elit Politik Lokal Masyarakat Irian Jaya barat dengan pemerintah pusat terhadap implementasi undang-undang nomor 45/1999 makan Pemerintah Pusat menanggapi aspirasi masyarakat dengan mengeluarkan Inpres nomor 1 tahun 2003 untuk mempercepat roda pemerintahan di provinsi Irian Jaya Barat. Keinginan kuat elit lokal masyarakat yang pro pembentukan propvinsi ini bertekat kuat agar prose pemerintahan tetap berjalan dan menyelenggarakan pemilu 2004 dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Irian Jaya Barat secara devinitif dan pemerintahan yang Devenitif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik walaupun masih terjadi wacana pro dan kontra, namun pada akhirnya semua menerima keputusan dan kenyataan yang ada.

B. Konsep dan Konstruksi Teori

Pro dan ariabekontra terhadap pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat merupakan bagian dari suatu dinamika politik yang tingkat tinggi, dimana berbagai alasan yang dilakukan baik pihak pro maupun yang kontra terhadap pemekaran. Dengan berbagai variabelan yang diambil untuk melihat tingkat kepentingannya telah dilakukan seperti pengukuran sikap terhadap tingkat kepentingan seperti :

Tabel Alasan-alasan Pendukung dan Kontra Pemekaran[4]

Elit dan Sikap terhadap

Pemekaran Papua

Alasan

Variabel Internal

Variabel Eksternal

I. Elit Pemda

Pro-pemekaran

Kepentingan publik (pelayanan) publik, ekonomi, politik dan kepentingan individu ( jabatan politik dan kontrol SDA)

Kepentingan publik (pelayanan) publik, ekonomi, politik dan kepentingan individu (jabatan politik dan kontrol SDA)

Kontra Pemekaran

-

-

II. Elit Masyarakat

Pro-pemekaran

Kontra Pemekaran

Kepentingan publik (ekonomi, Sejarah,pendidikan) dan kepentingan individu (Jabatan politik dan kontrol SDA)

Kepentingan publik (ekonomi, Sejarah,pendidikan) dan kepentingan individu (Jabatan politik dan kontrol SDA)

Kepenting Publik (otonomi khusus, politik, budaya, hukum, HAM)

Kepenting Publik (otonomi khusus, politik, budaya, hukum, HAM)

Sumber Data : Laporan Akhir Penelitian pemantapan implementasi UU No. 45/1999 dalam konteks penyelenggaraan pemerintah dan persiapan pemilu 2004. PPE-LIPPI dan Balitbang Depdagri, 2004

Dari tabel Alasan-alasan Pendukung dan Kontra Pemekaran, dapat dianalisa bahwa variabel-variabel pendukung dalam memberikan opini publik menunjukan suatu dasar yang kuat bahwa pemekaran provinsi menjadi suatu kebutuhan yang mendasar, walaupun disisilain ada kepentingan politik yang bersinegi antara elit pemerintahan lokal dengan elit pusat, seperti yang telah di uraikan pada halaman sebelumnya. OTSUS sebagai jalan tengah menuju perbaikan infra struktur dan peningkatan ekonomi orang papua tetapi itu belum menjamin hal itu dapat terwujud. Langkah yang di ambil untuk mempercepat pelaksanaan undang-undang nomor 45 tahun 1999 adalah merupakan bagian dari komitmen politik sejak jaman Izak Hidum sebagai Gubernur ketika usulan demi usulan namun tidak ditanggapi secara serius oleh elit pemerintah pusat, dengan demikian pemekaran ini bukan sesuatu yang baru dimulai tetapi sudah dilakukan sejak tahun 1980-an bahkan sebelumnya.

Pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi beberapa wilayah provinsi termasuk Provinsi Irian Jaya Barat adalah suatu fenomena yang menarik dimana dilihat dua kekuatan kekuatan elit lokal termasuk pemerintah daerah dan 1(satu) kekuatan Elit pamerintah Pusat dalam menentukan sikap politiknya terhadap pembentukan provinsi Irian Jaya Barat.

Dalam menganalisa pro dan kontra pemekaran wilayah ini terjadi pertarungan antara Elit-elit dalam masyarakat maupun elit yang ada di birokrasi pemerintahan daerah dan pemerintah pusat, dinamika seperti ini menurut Pareto bahwa masyarakat terdiri dari dua kelas, kelas yang pertama adalah lapisan atas yaitu terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elite), yang kedua lapisan yang lebih rendah yaitu non elit. Pereto sendiri lebih memusatkan perhatian pada elit yang memerintah, yang menurutnya, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dengan kelicikan,yang dilihat sebagai hal yang penting.[5]

Teori ini sangat relevan dengan kedaan sebenarnya elit yang memerintah yakni elit lokal masyarakat seperti kepala-ketu pemerpala suku mempunyai peran yang besar karena ia berada dalam posisi memerintah suatu pemerintahan lokal yang namanya adat sehingga kewenangannya cukup besar untuk memerintah, kemudia elit pemerintah daerah mempunyai kewenagan yang besar juga karena yang berkuasa diatas negeri “ provinsi Irian Jaya Barat” adalah pemerintah yang sedang ada pada waktu itu. Elit Pemerintahan Pusat adalah elit yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang luas untuk menentukan sikap dan pilihannya. Hal nampak ketika Direktur LP3BH mengatakan bahwa kalau Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 ingin diberlakukan lagi, maka undang-undang tersebut harus direvisi terlebih dahulu menyesuaikan ketentuan – ketentua yang telah diatur dalam undang-undang nomor 21 Tahun 2000. Ini perlu dilakukan perbaikan karena undang-undang nomor 21 Tahun 2000 mengatur tentang hal yang baru lagi dari Undang-undang nomor 45 Tahun 1999. Dengan demikian pemekaran yang dilakukan menurut Undang-undang nomor 45 Tahun 1999 adalah menunjukan kuatnya dominasi dan intervensi pemerintah pusat (elit yang berkuasa). Namun jika pemekaran dilakukan menurut undang-undang nomor 21 Tahun 2000 adalah sangat aspiratif didasarkan atas otonomi khusus Papua menunjukan dihormatinya aspirasi masyarakat papua ( harapan elit lokal) yang tidak berkuasa.

Mengenai hubungan Otonomi khusu dan pemekaran terdapat silang pendapat antara elit-elit pro dan konta pemekaran. Kalangan elit Pro-pemekaran mengatakan bahwa Otonomi Khusus di peruntukan seluruh provinsi hasil pemekaran dan provinsi induk. Klausal provinsi Papua berarti seluruh provinsi yang berada di atas tanah Papua. Oleh karena itu menurut kalangan ini ada dua langkah yang harus dilakukan sebagai berikut:

1. Segera dilaksanakan pemilihan anggota DPRD Provinsi – provinsi hasil pemekaran. Sesudah DPRD, maka akan dilaksanakan sidang untuk memilih Gubernur devenitif dan mengubah nama dari Irian Jaya menjadi Papua. Dengan demikian akan muncul banyak provinsi di tanah papua yang menggunakan nama papua seperti papua tengah, papua barat dan lain-lain.

2. Setelah DPRD terbentuk dan Gubernur devinitif terpilih, maka DPRD dan Pemerintah Provinsi hasil pemekaran mendesak pemerintah pusat untuk merevisi Undang-undang nomor 21 Tahun 2000 dengan menggantikan nama Provinsi Papua dengan seluruh Provinsi yang berada diatas tanah papua, dengan demikian seluruh provinsi yang berada ditanah papua hasil pemekaran akan diterapkan Undang-undang nomor 21 Tahun 2000 sebagai provinsi yang menerima Otonomi khusus. Dan revisi Otonomi khususpun diarahkan untuk mendukung pemekaran seperti yang telah diatur dalam undang-undang nomor 45 tahun 1999.

Pendapat yang berbeda diajukan oleh elit kontra pemekaran dengan bertolak dari aspek politik, menekankan bahwa pemekaran wilayah berdasarkan undang-undang nomor 45 tahun 1999 telah ditolakdan oleh masyar untuk menyelesaikakat dan DPRD Papua, sehungga bukan lagi merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik papua. Sementara otonomi khusu adalah jalan tengan atau hasi kompromi antara kepentingan NKRI dan rakyat Papua. Seluruh proses politik di papua termasuk pemekaran harus dilaksanakan dalam kerangka otonomi khusus dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas dan mendapatkan persetujuan dari MRP.

Dari Aspek hukum menegaskan bahwa pemekaran dilaksanakan atas dasar undang-undang nomor 45 tahn 1999 berimplikasi bahwa provinsi-provinsi hasil pemekaran tidak mendapatkan Otonomi Khusus karena provinsi papua dimekarkan pada tahun 1999 adalah provinsi Irian Jaya statusnya berbeda dengan dengan provinsi papua yang dimaksud dengan undang-undang nomor 21 tahun 2000. Pemekaran harus bertumpuh pada undang-undang nomor 21 tahun 2000, agar semua provinsi hasil pemekaran dipapua mendapatkan status otonomi khusus.

Pada dasarnya elit yang kontra pemekaran tidak berkeberata dengan pemekaran, namun kata mereka pemekaran itu merupakan kepentingan elit jakarta (pemerintah pusat). Yang menjadi pertanyan pemekaran untuk siapa? Dan ada apa dibalik pemekaran?. Kedua wacana ini terbangun dan jelasnya masing-masing elit akan mempertahankan argumentasinya. Tentunya pemekaran dilakukan untuk kepentingan orang papua guna Kepentingan publik pelayanan publik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik dan kepentingan individu jabatan politik dan kontrol SDA dan juga untuk kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan keutuhan negara kesatuan republik indonesia (NKRI), maka terjadi pertarungan elit lokal terutama elit yang pro dan kontra dan intervensi elit pusat juga menjadi penting ,

Pemekaran provinsi Irian Jaya Barat sebenarnya untuk orang papua secara keseluruhan, dimana tokoh-tokoh organisasi Papua merdeka yang dulunya dengan semangat menperjuangkan merdeka berubah arah menjadi pro pemekaran, dimana para elit ini berasal dari daerah manukwari yang tentunya menginginkan daerahnya dimekarkan. Seluruh orang manokwari dan bebarapa kabupaten yang berada di wilaya Irian Jaya Barat mendukung pemekaran, walaupun sekelompok orang mendukung gerakan merdeka tetapi pro pemekaran tetap berjalan, karena mereka menganggab bahwa dengan pemekaran dapat membawa bawah perubahan dalam pembangunan daerah.

Pemekaran wilayah provinsi Papua baik di tingkatTerkait dengan pemekaran interfensi pemerintah pusat sangat kuat, pemerintah papua berkebratan dan kontra dengan pemekaranaa karena adanya keinginan untuk tidak membagi-bagi kekuasaan sesama orang papua, pemerintahan harus dikendalikan oleh satu pintu yaitu Provinsi Papua dijayapura, namun elit lokal masyarakat dan elit lokal pemerintah daerah Irian Jaya Barat sangat kuat dalam memainkan pran kemudian intervensi elit pusat juga sangat kuat untuk mendukung pemekaran walaupun ada aspek-aspek hukum yang perlu dikaji ulang.

Pemekaran provinsi dan kabupaten juga menjadi tarik menarik di kalangan pro dan kontra. Pemekaran yang dilakukan menurut analisis bahwa dengan melakukan pemekaran di tubuh pemerintah melalui pemekaran wilayah provinsi dan kebupaten di wilayan papua, nantinya akan terjadi juga pemekuaran di tingkat meliter dan kepolisian dimana akan muncul kodam-kodam dan kodim-kodim baru termasuk koramil disetiap daerah pemekaran. Hal ini menjadi ancaman bagi elit-elit politik papua merdeka, yang akan membatasi dan memantau aksi-aksi masyarakat secara langsung.

Namun dengan demikian kuatnya argumen yang dubangun antara pro dan kontra terhadap pemekaran, kekuatan elit yang berkuas mempunyai dominasi kekuasan yang lebih kuat untuk menentukan pemekaran. Kelompok elit yang lain walaupun mempunyai kemampuan argumen yang sesuai dengan aturan-aturan hukum, setiap argumen jangan dilihat sebagai sesuatu yang salah atau benar salah dan benar tetapi semuanya adalah baik tergantung konteks dan makna dari apa yang usulkan dengan tetap mempertahankan OTSUS ataukah pemekran.

Tarik menarik pemekaran ini diletakan pada posisi rana politik sehingga kajiannya semua mengarah kepada kepentinga elit baik elit pro dan kontra di tingkat elit lokal sampai elit pusat. Kekuatan elit pusat mempunya kekuatan karena atas kekuasaannya itulah smengatur segal-galanya dibandingkan deng kelompok elit yang lain seperti yang di tegaskan dalam teori elit “ Teori elit menegaskan misalnya bahwa ialah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat terbagi dalam 2 kategori yang luas yang mencakup Sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki untuk memerintah, dan Sejumlah besar masa yang ditakdirkan untuk diperintah[6]. Ini menunjukan bahwa sekelompok .kecil orang yang mempunyai sumber daya “elit” mempu mempengaruhi kebijakan dan begitupula sebaliknya sejumlah besarnya masa yang tidak mempunyai kemampuan tentunya pasrah untuk menerima kenyataan walaupun ada sikap yang tidak simpati tetapi sudah ditakdirkan untuk menerima kenyataan.

Terlepas dari kontraversi yang terus menguat antara pemekaran atau status provinsi Mentri Dalam Negeri (Hari Sabarno) melantik Abrahanu Oktovianus Ataruri sebagai Gubernur papua Barat pada bulan november 2003, yang kemudian muncul kritik dari jurubicara DPRD Papua dan pendukung Jaap Salosa. Jhon Ibu mengatakan bahwa pelantikan itu bertentangan dengan Rekomendasi yang dikeluarkan oleh MPR dalam sidang tahunan yang terakhir, dan mendesak pemerintah pusat untuk merbarevisi undang-undang tentang pemisahan papua. Setelah pelantikan Ataruri di jakarta kembali ke manukwari sebagai ibu kota provinsi baru, ditengah perjalanan dari jakarta Ataruri berhenti di Jayapura untuk menyodorkankepada juru bicara John Ibo sebuah pernyataan resmi BIN yang ditanda tangani oleh kepalanya Letnan Jendral Purnawirawan Hendro Priyoirawan, yang isinya berbunyi Ataruri mendapatkan otoritas untuk membangun Irian Jaya Barat.[7] Dilantiknya Ataruri sebagai Gubernur kebanyaakan Elit pemerintah provinsi Papua yakni Gubernur Papua(Jaap Salosa beserta kelompok Sorong “ Ayamaru” , Ketua DPRD Papua John Ibo dan Elit Golkar di tingkat Provinsi Papua semacam kebakaran jenggot, dimana adanya keinginan untuk pemerintahan provinsi hanya terpusat di Jayapura, kekuasaan ditanah papua tidak boleh dibagi-bagikan kepada daerah lain, namun disisi lain Ataruri yang juga merupakan mantan wakil Gubernur bahkan perna bersain bersama Jaap Salosa sebagai gubernur Irian Jaya, semacam muncul sentimen antara satu dan lainnya dan Ataruri ketiga lepas dari wakil gubernur dan Kala dalam pemilihan Gubernur Irian Jaya, sebagai seorang purnawirawan yang energi melakukan upaya pemekaran melalui upaya untuk mengaktifkan kembali Undang-undang nomor 45 tahun 1999. Kemudian Irian Jaya Crisis Centre melakukan loby ke BIN yang melalui kapasitasnya mengirim Surat kepada BIN yang isinya mendesak agar Undang-undang nomor 45 tahun 1999 segera diimplementasikan. Keterlibatan BIN dalam menentukan pemekaran atau pembentukan Irian Jaya Barat sangat kuat, karena hal ini dilakukan untuk kepentingan negara.

Putnam menyatakan bahwa pemimpin-pemimpin militer mungkin mempunyai pengaruh dalam kebijakan pertahanan, tetapi mereka sedikit sekalih pengaruhnya dalam masalah pertanian. Demikian ada pula ada kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam bidang yang kecil ruang lingkupnya; dan sebaliknya, ada kelompok yang mempunyai pengaruh tidak begitu kuat dalam bidang yang ruang lingkupnya luas. Adapun benang merah yang dapat ditarik dari pendapat putnam tersebut adalah bahwa elit dengan kekuasaan ditangannya dapat memainkan peran beragam kegiatan diberbagai bidang. Besar kecil peran yang dilakukan dan luas sempitnya bidan dimana kegiatan tersebut dilakukan, tergantung antara lain tergantung kemampuan dan kekuasaan yang ada pada diri elit yang bersangkutan. Elit dengan kemampuan dan kekuasaan yang besar tidak menutup kemungkinan untuk memainkan peran yang lebih berarti pada bidang yang ruang lingkupnya juga luas[8]. Dengan demikian pro dan kontra terhadap pemekaran suatu pertarungan elit dimana keputusan dapat diambil oleh elit yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan senada yang sama menurut HAROLD LASSWELL menyebutkan bahwa elite yang paling unggul kedudukannya adalah elite politik; karena dalam lapangan politik keputusan-keputusan disertai dengan sanksi yang paling kuat. Dengan demikian, politik melahirkan keputusan yang otoritatif diantara nilai-nilai yang lain. Karena terkait dengan pemekaran kita berbicara tentang pola kepentingan antara kepentingan masyarakat papua terutama elit birokrasi tetapi juga kepentingan negara dalam hal ini pemerintah pusat, untuk bagaimana mensukseskan kepentingan ini maka harus ada tindakan politik, tindakan politis dapat dilakukan untuk menentukan sikap pilihannya itu ada pada kelompok kepentingan yang mempunyai otoritas, dan mau tidak mau suka tidak suka pasti di terima walaupun ada pihak-pihak yang tidak setuju atau menjadi korban dari politik.

.

IV. Penutup

Daftar pustaka

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005

Haryanto, Kekuasaan Elita, suatu bahasan pengantar, program pasca Sarjana (S2) PLOD

bekerjasama dengan JIP, FISIP-UGM, Jogjakarta,2005



[1]. DPRP adalah Dewan perwakilan Rakyat Daerah papua dan MRP adalah Majelis Rakyat Papua yang

merupakan keterwakilan masyarakat papua dari berbagai daerah dipapua dan berbagai golongan

agama dan tokoh masyarakat dan kelompok cendikiawan orang papua.

[2] Elit lokal di birokrasi pemerintaha dipapua adalah orang papua yang bekerja di pemerintahan

[3] . kata merdeka mengandung makna berpisah dari NKRI atau bebas dari penjajahan ekonomi,dan

Pembangunan dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

[4] LIPPI, Masyarakat Indonesia, majalah ilmu-ilmu sosial Indonesia Jilid XXX, No.1,2004 ISSN 0125-9989

Halaman 37

[5]. Lihat buku teori politik modern karangan SP. Varma tahun 1982 halaman 200 .

[6] Lihat buku teori politik modern karangan SP. Varma tahun 1982 halaman 197

[7] Jaap Timmer dalam bukunya politik lokal di Indonesia halaman 615 karenagan Henk Scholte dan

Gerri van klinken

[8] Haryanto kekuasaan Elit suatu pengantar cetakan pertama juni 2005, halaman 134-135

Rabu, 29 Juni 2011

POLITISASI BIROKRASI




NASKAH  PUBLIKASI

POLITISASI BIROKRASI
(Studi Tentang Peran Politik Dewan Adat dalam melakukan bentuk-bentuk intervensi politik guna Posting Birokrat pada Jabatan Struktural di Pemerintah Kabupaten Kaimana)


Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana S-2


ugm

                                                      






Diajukan oleh

MOHAMMAD DAIN WERFETE
NIM. 09/293686/PSP/03791



PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011






















DAFTAR ISI
Judul
Lembaran Persetujuan
Daftar Isi..................................................................................iii
ABSTRAK .............................................................................. iv
ABSTRACT............................................................................ vi
A. Latar Belakang ................................................................... .1
B. Perumusan Masalah ........................................................... .4
C. Kerangka Teori .................................................................. .4
1. Politisasi Birokrasi............................................................ 4
2. Birokrasi Representasi .......................................................9
3. Politik Penguna Birokrasi ............................................... 14
D. Metode Penelitian dan Sumber Data ..................................  17
E. Pembahasan ....................................................................... 14
1. Lembaga Dewan Adat......................................................14
2. Birokrasi Sebagai Basis Sumber Daya...............................16
3. Intervensi Dewn Adat dalam Posting Birokrat ..................21
     a. Bentuk-bentuk Intervensi ..........................................26
     b. Aktor yang berperan ..................................................26
     c. Implikasi Politisasi Birokrasi ......................................27
F. Kesimpulan ........................................................................29
Daftar Pustaka ........................................................................31


iii

ABSTRAK

Kajian ini difokuskan pada politisasi birokrasi yang dilakukan Dewan Adat dan Masyarakat Adat dalam posting birokrat untuk mengisi jabatan tertentu pada struktur organisasi Pemerintahan Kabupaten Kaimana. Dewan Adat melakukan politisasi birokrasi, sebagai upaya untuk mendapatkan resource yang tersedia, baik itu berupa sumber daya ekonomi, kekuasaan dan  jaringan di dalam birokrasi pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk politisasi  birokrasi yang dilakukan Dewan Adat.
Penulisan ini menggunakan analisa deskriptif dengan pendekatan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa politisasi  birokrasi dilakukan Dewan Adat dalam bentuk: lobby (intervensi) politik, demonstrasi (mobilisasi), pemalangan, ancaman & resistensi, pola relasi kepentingan dan sangat berimplikasi terhadap Dewan Adat itu sendiri, kinerja birokrasi serta kehidupan sosial politik masyarakat. Tekanan politik dalam bentuk-bentuk politisasi yang  dilakukan Dewan Adat  sangat kuat, sehingga relatif mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Keterikatan suku-suku secara emosional antara personil-personil yang ada di dalam birokrasi dengan suku-suku yang ada di wilayah Kabupaten Kaimana sehingga mengakibatkan mereka sulit keluar dari lingkaran kepentingan setiap suku. Akibatnya,  birokrasi cenderung mudah dipolitisasi karena birokrat yang menduduki jabatan tersebut merupakan rekomendasi dari Dewan Adat. Banyak birokrat yang berasal dari suku-suku di luar Kabupaten Kaimana juga cenderung mudah dipolitisasi “ketakutan” terhadap kekuatan masyarakat lokal yang direpresentasikan oleh Dewan Adat.
Aktor Dewan Adat dan Aktor Birokrasi juga mempunyai kepentingan yang berbeda. Aktor  adat cenderung  melakukan bentuk-bentuk politisasi untuk mengintervensi birokrasi guna mendapatkan sumber daya ekonomi, dan aktor birokrat juga cenderung melakukan “balas jasa”  kepada aktor adat agar posisinya dalam jabatan struktural tidak “diganggu”. Bentuk “balas jasa” inilah yang memudahkan Dewan Adat memanfaatkan dan  merebut sumber daya ekonomi di dalam birokrasi  yakni: (a) proyek-proyek pemerintah. (b) dapat di pekerjakan sebagai pegawai (PNS). (c) kebijakan-kebijakan pemerintah yang memihak kepada kepentingan masyarakat lokal.

Kata kunci : Politisasi Birokrasi, Dewan Adat,  Posting Jabatan,   


ABSTRACT

This study focused on bureaucracy politicized done by Customary Council and Customary Community in bureaucratic positioning in order to occupy certain job position in the organizational structure of Kaimana regency. Bureaucratic politicization made by Customary Council is an effort to get available resources from bureaucracy. It could be economic resources, power and network in government bureaucratic system. This research intends to discover the models of bureaucratic politicized done by Customary Council.
This research has conducted by using descriptive analysis and qualitative approach method. The research suggested that bureaucracy politicized by Customary Council can be seen in some models; political lobbying (intervention), demonstration (mass mobilization), crossed-bars to forbid certain places, threatening, and resistant relationship on interest which really affecting the existence of Customary Council, the capacity of bureaucracy and socio- political life of society, in addition, strong political pressure have done through bureaucracy politicized by Customary Council has influenced many government policies. 
Emotional relations of ethnic groups among personals of bureaucrat whom come from local tribes in Kaimana have made them get stuck on the circle of their own ethnical group interest. Consequently, the bureaucracy become easier to be politicized because the bureaucrats are those persons whom recommended by Customary Council. Not only those bureaucrats from local tribes but also many of bureaucrats who are not local tribe become easier to politicize because they afraid of the power of local tribes which have been represented by Customary Council. 
 Both actors, Customary Council and Bureaucrat actors have different interest, Customary Council more inclined to politicize bureaucrats and intervene the bureaucracy in order to get economic sources. On the other side,  the bureaucrat actors will pay recompensation to the Customary Council in order to save his/her position in bureaucratic system. However, the recompesation model have made by the bureaucrat actor has benefited Customary Council to access and grab the economic resources in bureaucracy  namely; (a) government projects, (b) Being occupied as civil servant, (c) the government policies which  based on local community needs.           

key Word: Bureaucracy Politicized, Customary Council, Occupation Position.


A.    LATAR  BELAKANG
Studi ini difokuskan pada politisasi birokrasi melalui bentuk-bentuk intervensi politik yang dilakukan Dewan Adat dan  masyarakat adat dalam penentuan (posting) personil birokrat untuk mengisi jabatan struktural tertentu pada birokrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Kaimana. Hal ini penting untuk dianalisa lebih dalam, sebab birokrasi merupakan bagian terpenting dari pelayanan pemerintahan. Untuk mendorong pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di daerah, semestinya dikembangkan model birokrasi yang profesional. Untuk membangun birokrasi yang profesional maka dibutuhkan political will dari pejabat politik dan dukungan semua komponen, termasuk Dewan Adat Papua.
Penentuan (posting) birokrat pada jabatan struktur pemerintah dilakukan dalam bentuk politisasi birokrasi. politisasi birokrasi dilakukan Dewan Adat dengan menggunakan seluruh kekuatan sumber daya yang dimiliki. Bentuk – bentuk politisasi yang terjadi lebih sering bersifat politik dan sangat kuat sehingga mampu mempengaruhi kebijakan negara terutama dalam posting birokrat maupun pengambilan kebijakan lainnya.  
Dewan Adat sebagai institusi yang memiliki bargaining position yang cukup kuat terhadap pemerintah daerah, untuk mendapat ruang yang sehingga dapat bermain dalam arena birokrasi. Hal ini menunjukkan ada sejumlah kepentingan yang belum terjawab. Kekuatan yang bersifat kolektif ini didukung oleh berbagai resource yang dijadikan modalitas untuk mempengaruhi “intervensi” birokrat “pemerintah” dalam proses pengambilan keputusan terutama dalam posting jabatan pegawai. Dewan Adat mempunyai power cukup besar bahkan menyamai kekuatan negara (state power). Power inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh individu, kelompok bahkan secara institusional untuk melakukan politisasi birokrasi bargaining position. Walaupun tindakan politisasi itu dilakukan oleh individu atau secara berkelompok, namun selalu mengatasnamakan institusi adat, namun sesungguhnya memperjuangkan kepentingan pribadi.
Dewan Adat adalah sebagai lembaga tempat berhimpun suku – suku lokal yang terpencar. Setiap komunitas suku lokal Kaimana memiliki organisasi adat masing – masing di tingkat suku. Institusi Dewan Adat Daerah Kaimana ini sebagai induk dari organisasi adat suku yang terpencar. Institusi ini yang memiliki peran dan kewenangan untuk menyampaikan aspirasi kepentingan masyarakat secara kolektif kepada pemerintah. Serta menjadi wahana untuk memperjuangkan aspirasi kepentingan masyarakat adat secara kolektif. Dewan Adat sarana untuk menjembatani aspirasi kepentingan masyarakat lokal untuk disampaikan kepada pemerintah maupun pihak lain. Hal ini ditandai dengan hadirnya era reformasi dan otonomi daerah sebabagai ruang untuk mengatur tatanan khas lokal. 
Institusi ini sangat disegani dan mempunyai potensi yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat pribumi yakni sebagai wadah yang dapat menyalurkan aspirasi keinginan masyarakat. Namun terkadang potensi ini dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan baik pemerintah maupun kelompok elit lainnya. Intervensi ini biasanya  dilakukan secara institusi, kelompok adat maupun dapat juga dilakukan secara individu (pribadi).
Dewan Adat seringkali digunakan sebagai lambang atau motif untuk memperjuangkan kepentingan individu ataupun kelompok. Dalam proses pengambilan keputusan di birokrasi pemerintah, peran politik yang dilakukan Dewan Adat sangat kuat. Bentuk intervensi yang dilakukan oleh Dewan Adat ini biasanya bersifat pressure group terhadap proses pengambilan keputusan di tingkat birokrasi. Pressure yang dilakukan dapat juga mengubah kebijakan – kebijakan daerah yang dibuat oleh pemerintah. Meski begitu terkadang Dewan Adat menjadi lemah secara institusi manakala pemerintah juga mengintervensi mereka. Intervensi oleh elit – elit pemerintah ini dilakukan bukan secara institusi namun terjadi secara individu. Untuk mempermuda proses intervensi atau upaya “balas jasa” dari aktor birokrat maka komunikasi secara moril dibangun dalam sistem jaringan aktor Dewan Adat yaitu dengan menentukan pimpinan-pinpinan Dewan Adat.
Pimpinan Dewan Adat dianggap sebagai orang atau figur yang benar paham dengan adat dan budaya setempat. Pimpinan adat semestinya memahami sejarah dan  adat itu sendiri dan selalu bertindak independen agar institusi adat dihargai, dihormati dan disegani masyarakat luas. Institusi ini harus berperan sebagaimana idealnya sehingga tidak mudah diintervensi oleh kelompok kepentingan.
Dalam kenyataaannya seringkali tidak indenpenden yang ditunjukan dengan intervensi dalam proses pengambilan keputusan baik di tingkat Pemerintah. Intervensi dapat terjadi karena dalam struktur birokrasi ada jabatan tertentu yang selama ini memiliki jaringan politik dengan Dewan Adat. Jabatan – jabatan tersebut  di posting ditentukan oleh Dewan Adat, baik secara individual maupun kelompok. Posting jabatan ini dimaksudkan agar kelompok kepentingan “ Dewan Adat” dapat  memperoleh resource yang tersedia di dalam birokrasi. Resource yang dimaksudkan adalah berupa resource ekonomi, kekuasaan dan jaringan di dalam birokrasi pemerintah melalui posting birokrat. 
Uraian diatas menunjukan suatu pertanyaan, sehingga pertanyaan dimaksud dapat dirumuskan dalam suatu rumusan masalah.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana cara Dewan Adat melakukan politisasi sebagai bentuk intervensi dalam penentuan (posting) birokrat pada struktur jabatan  di Pemerintah Kabupaten Kaimana?.

C.  KERANGKA TEORITIK
Politisasi birokrasi terkait dengan peran politik Dewan Adat dalam penentuan pegawai pada jabatan birokrasi di Kabupaten Kaimana maka penulis menggunakan landasan teori sebagai dasar analisa yaitu:




1.    Politisasi Birokrasi

Dalam konteks ini, konsep politisasi birokrasi di gunakan sebagai basis teori untuk menjelaskan proses intervensi Dewan Adat terhadap kewenangan negara dalam menata birokrasi sebagai institusi pelayan masyarakat. Menurut Ismail, upaya politisasi birokrasi oleh pejabat politik akan merusak profesionalitas birokrasi ketika pejabat politik yang bersangkutan menata birokrasi menurut kepentingan politiknya[1].
Sehubungan dengan itu, Miftah Thoha mengemukakan bahwa, birokrasi baik secara langsung atau tidak langsung akan selalu berhubungan dengan kelompok – kelompok kepentingan. Karena itu, negara berupaya untuk memuaskan kelompok – kelompok kepentingan dari luar terkait dengan pengembangan birokrasi[2].               Miftah Thoha menyebutkan bahwa politisasi birokrasi ini terjadi karena tekanan kelompok kepentingan begitu menguat kepada pejabat politik untuk mengakomodir tuntutannya dalam hal pengisian jabatan – jabatan struktural birokrasi. Pejabat politik, mau tidak mau harus mengakomodir kepentingan kelompok dimaksud guna menghindari konflik politik dengan kekuatan – kekuatan luar. Tujuannya jelas, untuk memperkuat eksistensi mereka (Dewan Adat). Akan tetapi  kepentingan ini juga dapat menjadi modal bagi pejabat politik untuk memperkuat eksistensinya dan keberlanjutan kekuasaannya[3].
Kelompok – kelompok dimaksud seringkali memaksakan kehendaknya kepada pejabat politik untuk mengakomodir kepentingan kelompoknya dalam pengisian jabatan – jabatan struktural birokrasi. Karena itu, pejabat politik sulit untuk menghindari intervensi kelompok tersebut, sebab desakan dari luar yang begitu kuat dengan cara – cara koersif, mengancam dan memaksa.
Kekuatan kelompok ini begitu kuat bahkan melampaui negara sehingga dapat dikatakan sebagai shadow state yang lebih berperan dalam menata birokrasi dari balik layar sehingga dengan mudah mengendalikan pemerintah atau pejabat politik untuk menempatkan personil birokrasi dalam jabatan-jabatan struktural menurut kepentingannya, bukan didasarkan pada pertimbangan kemampuan dan keahlian. Sebagai misal, para Jawara di Banten yang dengan mudah mengendalikan  Gubernur  Banten dalam banyak hal termasuk promosi dan mutasi PNS pada jabatan-jabatan penting[4].  
Upaya mempolitisasi ini justru birokrasi dijadikan sumber daya. Sehingga resource ini penting itu diperebutkan. Dalam perebutan resource ini muncul gesekan-gesekan bahkan konflik - konflik sering mempertikaikan sumber daya-resource terutama Sumber daya ekonomi. Politisasi birokrasi yang dilakukan Dewan Adat Kaimana terkait dengan posting jabatan dalam struktur pemerintah adalah bagian dari bentuk perembutan resource di dalam birokrasi. Konflik – konflik masa kini di Papua seringkali mempertikaikan sumber daya-resource alam dan pergulatan – pergulatan ekonomi dan kekuasaan politik, serta friksi-friksi antara berbagai etnis dan agama yang berlainan, serta antara imigran dengan orang lokal (ICC 2002b; Amnesty International 2002). [5]
Dalam perebutan resource  terjadi persaingan diantara para aktor yang berkepentingan. Kepentingan di dalam perebutan resource sering terjadi konflik kepentingan antara etnis. Konflik-konflik  kepentingan yang terjadi dikarena kebijakan yang tidak memihak kepada kepentingan masyarakat (pribumi).  Menurut Jaap Timmer bahwa kurangnya perhatian pada aneka ragam dan perubahan –perubahan dalam pandangan-pandangan dunia orang Papua sejak tahun 1960-an adalah sangat mencengangkan, sebab identitas-identitas yang baru saja muncul serta keprihatinan-keprihatinan dan strategis-strategi yang terkait dengannya mengarah pada ketegangan-ketegangan di dalam dan di antara komunitas-komunitas lokal, dan sangat mempengaruhi pembentukan politik para elit[6].
Menurut Cahyo Pamungkas bahwa,  konflik – konflik di Papua pada umumnya terfokus pada kebijakan-kebijakan Jakarta dan operasi-operasi angkatan bersenjata. Misalnya Pemberlakuan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 terjadi pro kontra para elit lokal di Papua dan elit pusat termasuk BIN (Badan Intelejen Negara) terhadap pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat.  Pro dan  kontra terjadi karena ada anggapan pemekaran ini hanya untuk kepentingan politik orang Jakarta dan sekelompok elit lokal di Papua. Para tokoh masyarakat bersama pemerintah menyetujui hal ini namun  sebagaian birokrat di Provinsi Papua dan LSM, Dewan Gereja serta Senat Mahasiswa menolak pemekaran karena berbagai pertimbangan politik daerah pada waktu itu[7].
Pendapat Jaap Timmer dan Cahyo pamungkas di atas dijadikan acuan untuk menjelaskan berbagai kasus yang terjadi di Papua termasuk di Kabupaten Kaimana, terkait dengan kebijakan – kebijakan pemerintah yang seringkali menimbulkan konflik. Kepentingan pemerintah dengan perilaku kebijakan yang terkadang menimbukan berbagai persoalan dikalangan masyarakat. Adanya pro kontra terhadap kebijakan. Karena kebijakan yang dibuat seringkali hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu. Dengan demikian muncul perbedaan – perbedaan pandangan sehingga terjadi konflik – konflik kepentingan.
Konflik yang terjadi di Kabupaten Kaimana lebih sering disebabkan pendistribusian kebijakan yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat lokal. misalnya dalam rekruitmen tenaga kerja, dan kebijakan lainnya. Justru lebih banyak suku – suku di luar Kaimana yang mempunyai peluang banyak. Hal ini disebabkan jabatan strategis di dalam birokrasi lebih didominasi oleh suku – suku di luar Kaimana. Misalnya Jaap Timmer  mengatakan bahwa salah satu efek dari  perbedaan – perbedaan yang disebutkan di atas antara lain elit Ayamaru yang sering dicurigai berkonspirasi untuk menguasai Papua Pegunungan sebagai “SOS“ (semua orang Sorong) dengan orang – orang suku pegunungan yang tertinggal dan dataran –dataran pantai selatan yang terbelakang.[8] Lebih lanjut Muridan Widjojo mengisyaratkan bahwa masalah yang terbesar menghadang Irian Jaya adalah polarisasi sosial dan kultur serta dominasi sektor formal oleh etnik Biak, Ayamaru, Serui dan Sentani. Kontras dengan birokrasi provinsi dan kabupaten di daerah pegunungan dan pantai selatan. Pembuat Kebijakan terlepas dari suku Papua yang disebutkan di atas didominasi juga oleh orang Jawa dan Maluku.[9]
Pendapat Timmer dan Muridan di atas inilah yang kemudian digunakan untuk melihat terjadi politisasi birokrasi. Politisasi birokrasi terjadi dikarenakan distribusi kebijakan yang tidak tepat sehingga terjadi dominasi sektor formal oleh suku-suku tertentu. Dewan Adat Kaimana melakukan politisasi dengan berbagai bentuk misalnya lobi politik, demonstrasi, pemalangan, ancaman dan tindakan resistensi, untuk melakukan posting jabatan. Posting jabatan dimaksudkan agar kebijakan – kebijakan pemerintah harus berpihak pada masyarakat lokal.

2.    Birokrasi Representatif
Teori Birokrasi Representasi “keterwakilan birokrasi” penting untuk menjelaskan politisasi birokrasi pemerintah dalam posting birokrat pada struktur jabatan birokrasi pemerintah. Representasi birokrasi dimaksudkan untuk memahami pentingnya keterwakilan suku, agama, wilayah (daerah), kelas sosial, faktor orang tua,  aspek sosial budaya dalam birokrasi pemerintah.
Wilayah Indonesia yang luas terdiri dari beribu – ribu pulau dan corak suku, ras, agama yang berbeda yang dikelilingi oleh lautan yang luas, dengan persebaran penduduk dan wilayah yang cukup banyak. Persebaran penduduk yang banyak berdasarkan wilayah ini memungkinkan adanya wilayah – wilayah tertentu di nusantara yang sulit dijangkau, dan sulit dipahami karena keanekaragaman corak budaya dan pola hidup yang berbeda. Wilayah yang begitu luas menyebabkan ketidaktahuan orang untuk mengetahui wilayah yang satu dengan wilayah yang lain atau suku yang satu dengan suku yang lain. Hal ini akan berpengaruh pada out-put dari suatu kebijakan terutama kebijakan pembangunan tidak dapat dirasakan oleh wilayah yang lainnya.
Representasi birokrasi menjadi bagian terpenting dalam birokrasi pemerintahan. Unsur suku, ras, agama, dan wilayah (daerah) harus tercermin dalam oraganisasi negara yang namanya pemerintah dengan tidak mengabaikan organisasi politik sebagai institusi yang menentukan dan mengesahkan suatu kebijakan. Representasi birokrasi merupakan upaya untuk memungkinkan pengambilan kebijakan yang dibuat lebih bersifat netral.
Birokrasi yang representatif mencerminkan unsur politik, sosial budaya dalam penyelenggaraan pemerintahan yakni birokrasi mewakili karakter populasi dari suatu wilayah. Studi mengenai birokrasi representatif dihadirkan oleh Kenneth J. Meier, yang memfokuskan perhatian pada layanan sipil di Amerika Serikat.Temuannya adalah keterwakilan publik dalam birokrasi harus mengacu pada unsur – unsur seperti usia, pendidikan, pendapatan, tempat kelahiran, kelas sosial bahkan pekerjaan ayah. Disusul perhatian yang sama pada unsur keterwakilan ras, etnis dan gender di birokrasi Amerika Serikat akibat relatif tidak terwakilinya kalangan minoritas dan perempuan pada jabatan tingkat menengah dan tinggi birokrasi di negara.[10]
Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan bahwa keterwakilan suku, agama, status sosial budaya, kelas sosial, dan wilayah (daerah) dalam birokrasi pemerintah adalah untuk mencerminkan unsur keadilan dan netralitas dalam membuat suatu keputusan dan kebijakan. Birokrasi representasi menjadi penting dalam struktur pemerintah terutama pemerintah daerah guna menjaga netralitas dalam kebijakan pembangunan maupun keberpihakan secara adil.
Birokrasi yang didalamnya merepresentasikan suku, agama, wilayah (daerah), unsur adat, status sosial, ini menjadi penting dalam masyarakat lokal. Prepresentasi ini bukan hanya menumbuhkan rasa asas pemerataan dalam kebijakan, namun kepemimpinan yang memiliki unsur – unsur di atas adalah bagian dari panutan, orang yang disegani dan mewakili kelompoknya baik secara aspiratif maupun kepentingan yang lainnya. Representasi Birokrasi oleh Kingsley[11] meneliti operasionalisasi pelayanan publik di Inggris dan mencatat bahwa layanan publik seharusnya merefleksikan karakteristik – karakteristik dari kelas sosial yang berkuasa. Intinya adalah, keterwakilan birokrasi harus diukur dalam konteks kelas sosial.
Representasi demokrasi yang dikembangkan oleh Kingsley mendeskripsikan bahwa pemerintah harus bersifat demokratis dalam pengelolaan birokrasi. Wilayah Indonesia dengan berbagai ragam suku, budaya, etnis dan wilayah yang luas maka salah satu bentuk untuk mewujudkan budaya demokrasi dalam sistem pemerintahan adalah harus merepresentasikan berbagai unsur dalam birokrasi tanpa mengesampingkan kapabilitas dari seorang birokrat.
Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang tidak berorientasi pada kepentingan, namun pemerintahan yang dengan ikhlas melayani kepentingan masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras (etnis). Karena seorang birokrat dilahirkan sebagai pelayan untuk melayani masyarakat dengan memperhatikan prinsip – prinsip pelayanan. Pemerintahan yang demokratis yaitu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat bentuk pemerintahan dengan segenap tutur serta memerintah dengan perantara wakilnya, gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan dalam suatu kewajiban. [12]
Representasi birokrasi mengidealkan keterwakilan konfigurasi sosial kemasyarakatan disuatu daerah baik etnik, wilayah kesatuan adat, agama, kelas sosial. Hal ini untuk menjamin keterwakilan masing – masing komunitas atau konfigurasi sosial yang telah mengakar di daerah birokrasi itu ada. Representasi birokrasi mengembangkan pola keterwakilan yang proporsional sebagai langkah untuk membangun birokrasi yang responsif terhadap pluralitas sosial warga masyarakat. Menanggapi permasalahan ini, diharapkan pecah koalisi antar daerah tidak berlaku. Birokrasi representasi diupayakan mampu menciptakan keterwakilan komunitas sosial dalam birokrasi secara perlahan, sehingga dapat menciptakan sensitivitas, responsivitas, serta kapasitas detektif birokrasi terhadap masalah sosial dari komunitas yang diwakilinya-konfigurasi di daerah.[13]
Menurut Wehner, bahwa pengaturan pemerintahan daerah yang memungkinkan dibukanya ruang bagi pola pengaturan hubungan pusat – daerah secara lebih khusus dan subtil yang berbeda dengan daerah otonom lainnya. Pelbagai macam aspek yang bisa dijadikan justifikasi bagi suatu daerah untuk menuntut pemberlakukan asymmetrical decentralization, misalnya, aspek pembiayaan, pelayanan publik, regulasi,budaya dan lain sebagainya.[14]
Inti dari kedua pendekatan ini adalah untuk mengekalkan daerah yang berkehendak memisahkan diri untuk tetap bersatu. Tetapi, masalahnya, motif kepentingan ekonomi – politik elite lebih kuat dibandingkan dengan keutuhan integrasi bangsa, sehingga solusi akademik apa pun akan sukar diterima maupun diejawantahkan. Koalisi yang pecah atau pun yang digagas, merujuk pada fenomena politik lokal di atas, hanya berujung pada satu hal, yakni siapa mendapat apa dari koalisi tersebu. Buku klasik Harold D. Laswell, yang diterbitkan ulang bertajuk Politics: Who Get What, When, How, telah lama mengungkapkan sisi gelap ini. Bahwa politik sering membiaskan tuntutan rakyat, sehingga koalisi pada partai yang tidak diinginkan oleh mayoritas konstituen dan seringkali terlanggar, merupakan realita dari politik siapa mendapat apa.[15]






3.      Politik Penggunaan Birokrasi
Politik penggunaan birokrasi menurut Barbara Geddes, paling tidak ada empat cara,[16]   namun yang fokus dalam teori ini adalah terjadinya partikularisasi dalam sistem pemerintahan (birokrasi). Politisasi birokrasi yang dilakukan Dewan Adat mapun pemerintah dalam posting birokrat pada jabatan tertentu apapun yang dilakukan adalah bagian dari upaya politisasi dan birokrasi yang ideal menurut Weber  tidak menjadi penting dalam birokrasi karena hampir setiap birokrasi yang ada selalu menganut sistim yang mengutamakan kepentingan pribadi (golongan) diatas kepentingan umum (partikulasi).
Sistim partikulasi dijalankan dalam birokrasi pemerintahan, selain untuk mendapatkan hasil yang baik berupa kinerja birokrat dalam birokrasi pemerintah namun tidak kalah penting juga menyangkut keuntungan dan kesejahteraan yang dapat diperoleh. Untuk mendapatkan keuntungan, maka para birokrat yang ada haruslah loyal dan mendukung program – program yang direncanakan, untuk mendukung program yang akan dilaksanakan maka dalam struktur birokrasi menempatkan orang (pegawai) yang mempunyai hubungan personal dengan pimpinan. 
Dewasa ini pasca reformasi dibidang pemerintahan dituntut untuk adanya penataan sistem pemerintahan dan peningkatan pelayanan pemerintah. Tuntutan agar  pejabat birokrasi harus lebih profesional dan akuntabel. Pejabat pemerintah yang akuntabel mampu mendorong terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik. Oleh karena itu penentuan pejabat dalam birokrasi tidak didasarkan pada kepentingan pemerintah tetap harus mengacu pada profesionalisme seorang birokrat.
Pemikiran Barbara Geddes tentang politik pengguna birokrasi[17] memfokuskan pada strategi – strategi penguatan yang digunakan oleh presiden untuk menjalankan fungsi administrasi mereka yang banyak mengabaikan aspek politik kepresidenan. Beberapa presiden melakukan penguatan pada para loyalis partai dan kelompok kepentingan “ambassadors” sebagaian besarnya ditunjuk tanpa melihat pada kompetensi; yang lainnya jarang secara tegas ditekankan pada kriteria paling tidak pada sektor – sektor terpenting dalam sistem administrasi mereka, kemudian yang lainnya melepas kontrol yang efektif terhadap proses penguatan untuk menyatukan siapa yang berpotensi sebagai rival dalam partai mereka atau untuk pemerintahan koalisi.
Pemikiran dari Barbara Geddes dalam realitasnya mempunyai kemiripan dengan birokrasi pemerintahan yang terjadi selama ini Negara Indonesia termasuk di Kabupaten Kaimana kebanyakan tidak mencerminkan kemampuan sebagai seorang birokrat tetapi lebih bersifat kepentingan politik pasca pilkada 2010, karena pejabat yang ditempatkan pada jabatan – jabatan strategis tanpa melalui pengkaderan yang jelas langsung ditempatkan pada jabatan yang menurutnya sangat membutuhkan orang – orang yang berpengalaman.
Dari uraian di atas inti dari politik penggunaan birokrasi di mana birokrasi eksekutif digunakan terus menerus untuk pertukaran keuntungan dan untuk dukungan kepentingan, menurut Geddes  paling tidak ada  empat cara[18] yaitu:
a)    Sebagai sumber partikularisasi keuntungan bagi para konstituen.
b)    Sebagai sumber langganan dan keuntungan yang lainnya bagi para politisi yang mendukung kebutuhan presiden untuk tetap tinggal di perkantoran dan menginisiasikan  hukum dan program baru.
c)     Sebagai sumber keuntungan bagi para anggota organisasi politik yang loyal terhadap presiden.
d)    Sebagai instrument untuk penerapan kebijakan di mana program-program secara efektif yang mendatangkan manfaat bagi kedua kelompok dan warga masyarakat pada jangka pendek dan jangka panjang.
Pemikiran Barbara Geddes dalam politik pengguna birokrasi dapat di simpulkan bahwa sebagai pimpinan, baik sebagai kepala negara maupun kepala daerah (Bupati) adalah jabatan politik yang dalam aplikasi penyelenggaraan dan pelayanan selain menjalankan tugas sebagai fungsi pelayanan namun prinsip – prinsip politik menjadi dasar dalam melakukan penguatan terhadap sistem  pemerintahan yang dijalankan.
Sistem yang dibangun didasarkan atas tingkat pelayanan dan seberapa besar memberi pengaruh kepada sistem itu sendiri maupun sistem yang lainnya, maka dengan demikian orang yang ditempatkan dalam suatu jabatan harus mengacu pada logika politik atas dasar untung ruginya dan aspek jangka panjangnya.

D.    METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Desain ini digunakan untuk mengetahui dan memahami kasus dari bentuk-bentuk politisasi yang dilakukan oleh Dewan Adat dalam posting birokrat dalam jabatan di struktur pemerintah Kabupaten Kaimana. Setiap fenomena dan kasus yang ada merupakan informasi bagi penulis untuk kemudian dianalis dan dideskripsikan dan memberikan pengertian kepada pembaca tentang bentuk –bentuk intervensi sebagai upaya politisasi birokrasi yang dilakukan oleh Dewan Adat.
Penelitian ini pada dasarnya untuk menjawab atau memecahkan berbagai masalah. Penelitian ini bersifat kualitatif. Analisis dari tulisan ini bersifat kualitatif dan data dapat dihimpun dari hasil wawancara dan pengamatan maupun dokumen lainya misalnya berupa; video, kaset, buku.
Penelitian kualitatif biasanya menyoroti masalah yang terkait dengan perilaku dan peranan manusia. Jenis penelitian ini dapat digunakan untuk meneliti organisasi, kelompok, dan individu.[19] Jenis penelitian ini lebih menekankan pada analisisnya terhadap dinamikan masyarakat, misalnya bentuk-bentuk intervensi politik dalam politisasi birokrasi.
Data diperoleh dari berbagai informasi dari informan yaitu dengan mewawancarai informan yang mempunyai kapasitas dan bertanggung jawab terhadap informasi yang diberikan. Dari hasil wawancara ini banyak data primer yang didapatkan. Selain itu juga data juga diperoleh dari buku-buku (literatur) yang relevan dengan kajian ini. Dokumen lain juga berupa bahan bukti atau bahan analisa berupa foto-foto yang diperoleh dari dokumentasi Dewan Adat Kaimana.

E.    Pembahasan
1.     Lembaga Dewan Adat
Dewan Adat Daerah Kaimana hadir sebagai organisasi pada akhir tahun 1999. Organisasi ini dibentuk menjadi suatu instirusi yang diakui oleh seluruh komponen masyarakat  baru pada tahun 2000 di bawah pimpinan Karel Megi dan Agus Tumanat. Dewan Adat ini dulunya disebut sebagai Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Pada waktu itu  kehadiran Lembaga Adat itu berada dalam situasi politik Papua yang sangat tajam, terutama semangat disintegrasi yang ditandai dengan gelombang isu Papua Merdeka yang sangat kuat di seluruh wilayah Papua.
Pada tahun 2003 – 2004 Dewan Adat melaui melakukan reorganisasi dengan menunjuk Jeisea (alm) sebagai Ketua Dewan Adat Kaimana. Kemudian pada tahun 2004 dilakukan reorganisasi Dewan Adat melalui Musyawarah pertama di Kaimana yang tangani langsung oleh Dewan Adat Papua. Masyawarah tersebut  berhasi menyusun  perangkat organisasi termasuk perumusan program kerja dan memilih pengurus Dewan Adat periode berjalan
Pada Oktober 2009 Dewan Adat melaksanakan konferensi daerah dan mempercayakan Harun Sabuku sebagai Ketua dan Lukas Surbay sebagai Sekretaris Dewan Adat Daerah Kaimana dan Safar Furuada sebagai Kepala Pemerintahan Adat yang membawahi suku – suku lokal yang ada di Kaimana. Semangat yang dibangun pada masa kepengurusan Dewan Adat pada kepemimpinan Marthen Fenetiruma dan Harun Sabuku berbeda dengan semangatnya yang dibangun Dewan Adat pada masa sebelumnya. Orientasi mulai mengarah pada pembentukan dan penguatan struktur yang melibatkan seluruh komponen masyarakat lokal dalam memperjuangkan hak – hak dasar masyarakat pribumi. Untuk memperjuangkan hak – hak masyarakat adat maka fungsi dan kewenanganya harus dijalankan secara baik.
Dewan Adat Kaimana memiliki Struktur  Fungsi dan Kewenangan sebagai berikut:

a.     Struktur Dewan Adat

1)    Forum pengambilan keputusan dalam Institusi Dewan Adat ini terdiri dari pertama Musyawarah. Musyawarah Masyarakat Adat Kaimana merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan di tingkat Dewan Adat Kaimana.
2)    Dewan Adat adalah representasi 8 suku yang mendiami tanah adat Kaimana, karena itu berjumlah 8 orang. dipilih dan disahkan/dikukuhkan oleh Forum Musyawarah (Konferensi). Dengan ketentuan, seseorang yang menjadi representasi suku di dalam dewan/ kerapatan ini ditunjuk oleh masing – masing suku yang bersangkutan. Selanjutnya 8 orang yang telah terpilih bersepakat untuk mengangkat seseorang diantara mereka menjadi ketua sekaligus anggota, dan seorang menjadi sekretaris sekaligus anggota, serta  5 orang anggota.
3)    Pemerintahan Adat, sesuai dengan posisinya maka lembaga ini berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang bertugas menerjemahkan dan menjabarkan semua pokok program maupun keputusan – keputusan musyawarah adat serta kebijakan – kebijakan yang dibuat Dewan Adat, ke dalam program konkrit atau operasional. Pemerintahan Adat dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan adat membawahi Bidang-Bidang dan dibantu seorang Sekretaris dan seorang Bendahara. Kepala Pemerintahan Adat ditunjuk oleh Dewan Adat di dalam forum sidang musyawarah adat dan mendapat persetujuan bulat seluruh peserta, atau diajukan calonnya oleh Dewan Adat dan dipilih oleh peserta.
4)    Forum Koordinasi dan Konsultasi adalah sebagai upaya untuk mengembangkan daya adaptasi lembaga, maka dirasa penting juga untuk adanya forum yang menampung partisipasi masyarakat dari komponen yang lain, misalnya masyarakat Papua suku lain, masyarakat etnis lain, dan juga tokoh masyarakat dan tokoh agama.
                    
         StrukturDewan / Pemerintahan Adat Kaimana



















b.  Fungsi Dewan Adat
Fungsi Dewan Adat sebagai pencerminan nilai – nilai budaya komunitas tertentu dan nilai – nilai budaya ini perlu dilembagakan menjadi suatu nilai yang mengatur terhadap hajat hidup masyarakat. Secara fungsional, ada lima fungsi Dewan Adat yakni :
1)    Sebagai pengontrol, pengawasan dan pengendalian terhadap kebijakan yang berdampak pada masyarakat lokal.
2)    Memberikan perlindungan terhadap hak – hak dasar Masyarakat Adat.
3)    Melestarikan nilai - nilai budaya Masyarakat Adat Kaimana.
4)    Menjamin kelangsungan kehidupan yang damai di atas negeri.
5)    Mendorong terciptanya kesejahteraan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat asli Kaimana, melalui pemberian kesempatan berpendidikan, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pekerjaan. 

c.     Kewenangan Dewan Adat

Dewan Adat mempunyai kewenangan sebagai berikut :
1)    Menjaga dan melestarikan nilai – nilai Adat, norma dan pola hidup komunitas  adat.
2)    Menyampaikan dan menyalurkan aspirasi masyarakat terkait dengan kehidupan sosial budaya masyarakat.
3)    Berkewenangan untuk melaksanakan fungsi – fungsi Dewan Adat.


d.     Wilayah Pemerintahan Adat Kaimana.

Wilayah Pemerintahan Adat diatur dalam pasal 33 ayat 1 Keputusan Kultural Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor III/KK-MRP/2009. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota wajib mengakui keberadaan masyarakat adat dengan sistem pemerintahan adat dan wilayah hukum adat yang telah ada. Dalam ayat 2 (dua), wilayah pemerintahan adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi : Wilayah adat Doreri, Bomberai; Saireri; Mee Pago; Lani Pago; Tabi; Animha[20]. Seperti tampak dalam peta sebagai berikut:
 

  Peta 7 Wilayah Adat  Papua


 








Berdasarkan wilayah persebaran Adat suku, suku-suku di Kabupaten Kaimana masuk dalam wilayah persebaran kebudayaan Bomberai.

        Peta Persebaran Suku-suku di wilayah Adat Kaimana








Wilayah pemerintah adat Kaimana terdiri dari beberapa suku lokal  yang mendiami wilayah pemerintahan adat Kaimana di samping suku-suku lain di luar wilayah adat Kaimana yakni suku Bugis, Makasar, Jawa, Buton, Ambon dan Maluku, Tionghoa dan lain-lain. Adapun wilayah persebaran suku-suku lokal di wilayah adat Kaimana berdasarkan pengesahan statement masyarakat delapan (8) suku di kaimana yaitu suku Mairasi, Irarutu, Kuri, Madewana , Oborauw, Koiwiai, Suku semimi/Suku Komoro, Mer.





2.     Birokrasi  Sebagai  Basis  Sumber  Daya

Birokrasi sebagai basis sumber daya[21] birokrasi yang diperebutkan oleh banyak aktor, yaitu birokrat, pemodal dan masyarakat. Perebutan resource tersebut akan menunjukan  posisi birokrasi Kabupaten Kaimana dalam konteks kejian ini.
Pada hakekatnya, pemerintah memiliki tugas dan fungsi untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Manurut Ryas Rasid, pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama.[22]
Birokrasi pemerintah merupakan elemen terdepan dalam pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi harus bersikap netral baik dari sisi politik maupun administrasi. Birokrat harus menjauhkan diri dari kepentingan politik praktis, sehingga pelayanan kepada masyarakat benar-benar maksimal, adil dan berpihak kepada rakyat. Dengan demikian resource birokrasi yang tersedia dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan publik. Namun demikian realitas yang terjadi adalah birokrasi dilihat sebagai resource yang harus didapatkan, karena di dalam birokrasi pemerintah terdapat sumber daya ekonomi, kekuasaan dan jaringan yang dapat mempermuda akses untuk memperoleh resource.
Aktor yang terlibat dalam perebutan sumber daya ekonomi di dalam birokrasi adalah: aktor pemodal, aktor birokrasi dan aktor Dewan Adat ( Masyarakat lokal). Aktor-aktor ini berada dalam ranah birokrasi untuk merebut sumber daya birokrasi.
Beberapa  temuan bahwa Dewan Adat  ikut berperan dalam merebut atau  ingin mendapatkan ressaurces karena ;
-        Merasa mempunyai hak atas negeri yang dijaganya. Asumsi bahwa Kabupaten Kaimana hadir untuk orang Kaimana, sehingga masyarakat adat (Dewan Adat) mempunyai hak untuk memperoleh sumber daya yang ada.
-        Adanya pergesaran nilai dari masyarakat yang dulunya hidup serba tradisional “ apa adanya” kini zaman menuntut agar mereka juga harus mampu seperti orang lain atau daerah lain yang sudah berkembang.
Aktor Dewan Adat melakukan berbagai bentuk intervensi politik didalam birokrasi untuk  mendapat perhatian, pengakuan dan legitimasi dari pihak birokrat”pemerintah” dengan demikian terbangun suatu jaringan politik melalui posting birokrat dalam jabatan struktur pemerintah hal ini dilakukan untuk memudahkan Dewan Adat (masyarakat adat) untuk mendapatkan sumber daya yang ada.



3.     Intervensi  Dewan Adat Dalam Posting Birokrat
Dewan Adat di Kabupaten Kaimana dengan mudahnya mengintervensi kebijakan Pemerintah Daerah setempat terutama dalam hal menempatkan personil-personil PNS pada jabatan-jabatan struktural birokrasi. Hal ini dikarenakan Dewan Adat memiliki posisi tawar yang cukup kuat, sehingga pemerintah sulit untuk mengelakan apalagi menolak keinginan lembaga adat tersebut. Jika Pemerintah mengabaikan, maka Dewan Adat akan melakukan tindakan politisasi dengan berbagai bentuk intervensi.
Intervensi dilakukan dengan melakukan pengumpulan masa yang nota benenya adalan pribumi baik perempuan maupun laki-laki, kemudian diberikan penguatan untuk melakukan resistensi atau perlawanan.
a.     Bentuk-bentuk Intervensi Politik
Bentuk-bentuk intervensi politik sebagai politisasi birokrasi dalam posting birokrat dalam struktur jabatan dipemerintahan berupa:
1.     Lobby (intervensi) Politik,
2.     Demonstrasi (mobilisasi),
3.     Pemalangan,  Ancaman ,
4.      Pola  relasi Kepentingan.









b.     Aktor yang berperan
Dalam melakukan bentuk – bentuk intervensi politik yang menjadi aktor dalam hal ini Dewan Adat, namun bukan sebagai aktor tunggal tetapi melibatkan aktor-aktor adat lainnya. Sebagai akibat dari politisasi dengan melakukan bentuk-bentuk intervensi dalam posting birokrat.
Aktor-aktor dengan peran politiknya sebagai kekuatan politisasi birokrasi sebagai upaya untuk penentuan (posting) personil pegawai dalam struktur jabatan birokrasi, terdiri dari :
1.     Dewan Adat (Pengurus), atau sekelompok orang bahkan individu yang mengatasnamakan Dewan  Adat.
2.     Forum 8 (delapan) suku  forum ini dibentuk di luar dari Dewan Adat.
3.     Kelompok Adat Suku
4.     Para Pegawai (birokrat) yang mempunyai kepentingan, sehingga melakukan intervensi.
5.     Para Elit lokal yang mempunyai kepentingan
Peran aktor dengan berbagai macam metode (cara) membuat ada semacam ketakutan pemerintah, karena aktor-aktor ini memiliki informasi mengenai baik dan buruknya kinerja pemerintah baik secara kelembagaan maupun personal.  Jika para aktor ini tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah  maka kebobrokan pemerintah secara institusi maupun personal akan disuarakan di khalayak ramai dan itu akan mengganggu roda pemerintahan dan merusak citra individu – individu tertentu sebagai elit lokal birokrasi yang dapat dikatakan sebagai publik figur.
c.     Implikasi  dari dari Politisasi Birokrasi
Bentuk-bentuk intervensi politik yang dilakukan Dewan Adat sangat berimplikasi terhadap relatif rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Dewan Adat dan pemerintah. Hal ini dikarena intervensi timbal balik  diantara kedua kelompok kepentingan. Adanya unsur “balas jasa” yang dilakukan oleh pemerintah terhadap aktor adat.  Dari bentuk-bentuk intervensi  politik yang dilakukan Dewan Adat dan unsur “balas jasa” yang dilakukan pemerintah  menyebabkan relatif rendahnya kinerja birokrasi.
Pemerintah juga terkadang relative tidak percaya dengan kehadiran Dewan Adat karena banyak mencampuri urusan birokrasi. Pandangan yang berbeda dari 2 institusi ini terutama para aktor-aktor yang merupakan panutan masyarakat,ketika tidak lagi menjadi bagian terpenting dalam kehidupan sosial masyarakat akan berdampak pada kehidupan sosial politik masyarakat.
Pembahasan ini menyimpulkan bahwa Birokrasi dengan mudah dapat diintervensi politik atau dipenagaruhi oleh Dewan Adat. Karena  di dalam birokrasi terjadi keterikatan suku-suku secara emosional antara personil-personil yang ada di dalam birokrasi dengan suku-suku yang ada di wilayah Kabupaten Kaimana sehingga mengakibatkan mereka sulit keluar dari lingkaran kepentingan.
Banyaknya birokrat yang berasal dari suku-suku di luar Kaimana, sehingga cenderung relatif di politisasi “ ketakutan” terhadap aksi-aksi representasi dari Dewan Adat. Posting birokrat dalam jabatan-jabatan strategis dilakukan agar relatif dengan mudah dipolitisasi. 
F.    KESIMPULAN
Dewan Adat sangat berperan dalam penentuan jabatan struktural di Pemerintah Kabupaten Kaimana. Birokrasi menjadi mudah dipolitisasi oleh Dewan Adat karena :
Pertama, keterikatan suku-suku secara emosional antara personil-personil yang ada didalam birokrasi dengan suku-suku yang ada di wilayah Kabupaten Kaimana sehingga mengakibatkan mereka sulit keluar dari lingkaran kepentingan setiap suku. Birokrasi juga cenderung mudah dipolitisasi karena birokrat yang menduduki jabatan-jabatan tertentu itu merupakan rekomendasi dari Dewan Adat.
Kedua, banyak birokrat yang berasal dari suku-suku di luar Kabupaten Kaimana juga cenderung mudah dipolitisasi “ketakutan” terhadap kekuatan masyarakat lokal yang direpresentasikan oleh Dewan Adat.
Ketiga, bentuk-bentuk dari tidakan politisasi seperti loby (Intervensi) politik. Tekanan politik melalui mobilisasi (demonstrasi). Selain itu juga ada ancaman, Pemalangan, Resistensi. yang dilakukan oleh Dewan Adat  sangat kuat, sehingga relatif mempu merubah atau mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah, dan cenderung berimplikasi terhadap rendahnya kinerja birokrasi.
Keempat, aktor-aktor dalam Dewan Adat dan Aktor Birokrasi mempunyai kepentingan yang berbeda. Aktor  adat cenderung untuk melakukan bentuk-bentuk intervensi politik  politisasi untuk mengintervensi birokrasi  guna mendapatkan resource, dan aktor birokrat juga cenderung melakukan intervensi kepada aktor adat agar posisinya dalam jabatan birokrat maupun kebijakan-kebijakannya tidak disikapi secara negative oleh masyarakat adat. Bentuk intervensi inilah yang mudah dipolitisasi (dimanfaatkan) oleh kepentingan  Dewan Adat.
Kelima, posting jabatan ini dilakukan sebagai upaya untuk merebut resource yang ada di dalam birokrasi yaitu sumber daya ekonomi birokrasi antara lain: (1) Mendapatkan proyek-proyek pemerintah. (2) Dapat di pekerjakan sebagai Pegawai. (3) Kebijakan-kebijakan Pemerintah yang memihak kepada kepentingan masyarakat lokal. Karena lahan pertanian masyarakat lokal sebagai sumber mata pencaharian di peruntuhkan untuk lahan-lahan pembangunan dan perumahan. Sehingga masyarakat harus mengubah mata pencaharian (profesi) petani menjadi kontraktor dan lainnya.
Keenam, politisasi birokrasi yang dilakukan Dewan Adat sangat kuat dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Terutama kebijakan Posting Jabatan, Tenaga Kerja (PNS) dan Proyek-proyek Pemerintah. Hal ini dilakukan dengan bentuk-bentuk tindakan politisasi. Bentuk Politisasi yang menonjol adalah Demonstrasi, pemalangan dan resistensi  Bentuk politisasi ini berimplikasi terhadap  kinerja pemerintah Kabupaten Kaimana.






DAFTAR PUSTAKA

Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2009); Dasar-dasar penelitian KUalitatif, tata langkah  dan teoritisasi  data. Jakarta, Pustaka pelajar
Afadlal dkk, (2003); Dinamikan Birokrasi Lokal Era Otonomi daerah,Jakarta:  P2P-LIPI
Akhmad,2005      Amber dan Komin , Studi Perubahan Ekonomi di Papua, Yogyakarta ,  Bigraf Publising
Ahmad Fedyani Saiffudin (2009); Prespektif Budaya, kumpulan tulisan Koenjaraningrat, memeorial lectures I-V/2004-2008, Jakarta : PT. Praja Gravinda.
A.A.Sahid Gatara (2009); Ilmu Politik, memahami dan menerapkan, Bandung :Pustaka Setia
Barbara Geddes (1994); Politician’s Dilemma, Building State Capacity in latin America, California: University of California Press
Badan Pusat Statistik  Kabupaten Kaimana (2009); Kabupaten Kaimana dalam Angka Tahun 2009
Bappeda Kaimana bekerjasama dengan UGM Yogyakarta (2008); Penyusunan RPJPD Kabupaten Kaimana tahun 2009-2029
Cahyo Pamungkos (2004)  Konflik Elit Lokal dalam Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat Jurnal Masyarakat Indonesia” LIPI , Jakarta 
Pemerintah Kabupaten Kaimana (2006);  Renjana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2005-2010
Pemerintah  Kabupaten Kaimana (2008);  Profil Kabupaten Kaimana Tahun 2009
Hadarwati Nawawi (2007); Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press.
Henk Schulte Nordholt dkk, (2009); Politik Lokal di Indonesia , Jakarta, yayasan Obor Indonesia
Heather Sutherland (1983);Terbentuknya sebuah Elit Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan
Ismail M.H,(2009); Politisasi Birokrasi,  Malang : Ash-Shiddiq Press,
--------------, (2009); Etika Birokrasi, dalam prespektif  Resource manusia, Malang : Ash-Shiddiq Press,
J,R, Mansoben (1994); Sistem Kepemimpinan Tradisional di Irian Jaya , Indonesia: Studi Perbandingan, PhD Disertation  University of Leiden,
Jamie S.Davidsin dkk  (2010);  Adat Dalam Politik Indonesia, Jakarta,yayasan Obor Indonesia
L,P,Sinambela,dkk (2008): Reformasi Kebijakan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta : Bumi Aksara.
Leo Agustino (2009)   Koalisi dan Politik Pasca 9 April,  Suara  Pembaruan, tanggal 14 Mei 2009
Lembaga Penelitian Uncen Jayapura (2006); Tata Ruang Wilayah Kebudayaan masyarakat Kaiman tahun  2006
Mas’ud  Said (2009); Birokrasi di Negara Birokratis, Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia, Malang: UMM Press.
Masri Singarimbun, Sofyan Effendi,S, (1989); Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES.
Moeljarto, Tj. Dkk (2001);  Birokrasi dalam Polemik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Miftah Thoha, (2003);  Birokrasi Politik , di Indonesia, Jakarta: PT. Raja  Gravindo,  
-----------------, (2008); Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi, Jakarta : Kencana,   Prenada Media Group.
Muhammad Mustofa (2010); Kleptokrasi, Persekongkolan Birorat-Korporat sebagai Pola White Collar Crime di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group.
Norman  K. Denzin , Yvonna S. Lincolin, (2009); Handbook of Qualitative Research di terjemahkan oleh Daryanto dkk, Yogyakarta:  Pustaka pelajar.
Saifuddin Azwar (2010); Metode Penelitia, Jokjakarta: Pustaka Pelajar.



[1]  Ismail (2009), Politisasi Birokrasi, Malang, Ash-Shiddiqy Press, hlm. 20
[2] Mihtah Thoha (2008), Birokrasi Pemerintah Indonesia diEra Reformasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm: 27.
[3] Mihtah Thoha, (2008), Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 27.
[4] Syarif Hidayat, (2007), dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV, hlm. 268 – 269.
[5] Jaap Timmer, (2007), dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal di  Indonesia, Jakarta, KITLV, hlm: 608.
[6] ibid, hlm: 608-609.
[7] Cahyo Pamungkos (2004)  Konflik Elit Lokal dalam Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat Jurnal Masyarakat Indonesia” LIPI , Jakarta 
[8] Jaap Timmer, (2009), dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV, hlm: 607.
[9] Ibid.  hlm:612.

[10]Setya Basri (2009) Birokrasi Representasi, dalam http://setabasri01.blogspot.com  birokrasi-representatif.html.
[11]Setya Basri (2009) Birokrasi Representasi, dalam http://setabasri01.blogspot.com  birokrasi-representatif.html.

[12] Umi Kalsum,  et.al (2006)  Kamus besar bahasa Indonesia, Surabaya ; Kashiko.
[13] Coleman, Brudney & Kellough 1998  dalam Leo Agustino,  14 Mei 2009  dalam  SUARA  PEMBARUAN, tentang Koalisi dan Politik Pasca 9 April , Penulis adalah  Dosen FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
[14]  Sowa & Selden  (2003); Hong-Hai Lim (2006) dalam Leo Agustino,  14 Mei 2009  dalam  SUARA  PEMBARUAN, tentang Koalisi dan Politik Pasca 9 April , Penulis adalah  Dosen FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
 [15] ibid.
[16]  Barbara Geddes, (1994), Politician’s Dilemma, Building State Capacity in latin America, California:  University of California Press.

[17] Barbara Geddes, (1994), Politician’s Dilemma, Building State Capacity in latin America, California:  University of California Press.
[18] Barbara Geddes, (1994), Politician’s Dilemma, Building State Capacity in latin America, California:  University of California Press.
[19] Anselm Strauss dan Juliet Corbin (2009) Dasar-dasar penelitian KUalitatif,  tata langkah  dan teoritisasi  data. Jkt, Pustaka pelajar, hlm: 4-7.
[20] Lihat Keputusan Kultural Majelis Rakyat Papua tentang Kabijakan khusus dalam rangka  keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua, Sekretariat MRP; Jayapura 2009.
[21] Yang dimaksudkan dengan Sumber Daya dalam tulisan ini meliputi sumber daya ekonomi terdiri dari  proyek-proyek, kedua berpeluang untuk bekerja sebagai PNS dan ketiga adalah Kebijakan-kebijakan pemerintah yang memihak pada kepentingan mereka. Hal ini dapat diperoleh melalui kekuasaan dan jaringan “ ling”  di dalam pemerintahan.
[22] Ismail ( 2009)  Etika Birokrasi. Malang:  Ash-Shiddiqy Press, hal: 120