Studi Kasus Pemekaran Wilayah
A. Latar Belakang Masalah
Pemekaran, itulah kata yang sering muncul pasca jatuhnya Soeharto, dan orang menganggap bahwa peristiwa ini hanya terjadi ketika bergulirnya era otonomi daerah seperti saat ini saja. Alam Surya mengatakan bahwa pemekaran wilayah di Indonesia sebenarnya telah terjadi masa kerajaan di Indonesia. Saat itu, wilayah kerajaan akan dimekarkan apabila terjadi konflik di tubuh kerajaan atau konflik antar keluarga kerajaan maupun kalah dalam peperangan. Namun demikian, maraknya pemekaran memang terjadi pasca reformasi, disebabkan adanya semangat melaksanakan otonomi daerah bagi setiap daerah. Walaupun banyak terdapat indikasi adanya kepentingan politik dari sekelompok kecil elit di daerah tersebut. Tetapi, hal itu hanya merupakan sebagian permasalahan dalam pelaksaan pemekaran. Bagi pemerintah pusat dan masyarakat kecil di daerah hanya menafsirkan pemekaran tersebut sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan dan memperpendek akses dengan pemerintahan di daerah.
Yang terjadi di Indonesia selalu berfokus pada pemekaran daerah dari pada penggabungan daerah. Sepengetahuan kami, belum ada penggabungan wilayah yang terjadi di Indonesia denagn alasan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Masa desentralisasi ini merupakan peluang bagi masyarakat di daerah untuk mengembangkan wacana politik lokal dan pembangunan secara cepat. Sebagai sebuah momen, desentralisasi direspon oleh berbagai pihak untuk merealisasikan kemungkinan adanya wilayah yang harus dimekarkan dan digabungkan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Provinsi Kepulauan Riau yang berpisah dari Provinsi Riau, Provinsi Banten yang melepaskan diri dari Jawa Barat dan Provinsi Papua Barat yang berpisah dari provinsi induknya Papua. Ketiga provinsi ini melepaskan diri dengan berbagai retorika kebenaran, diantaranya mempercepat pembangunan dan adanya keinginan memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam yang dimilikinya. Kondisi empiris sekarang menunjukkan bahwa ketiga provinsi tersebut mampu meningkatkan taraf hidup penduduknya dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusianya dengan baik daripada ketika bergabung dengan provinsi induknya terdahulu.
Ketiga Provinsi ini, Kepulauan Riau, Banten dan Papua Barat sama-sama memiliki keunikan tersendiri dan terdapat perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Banten merupakan wilayah yang dekat dengan ibukota dan penduduknya telah mengalami kemajuan dari berbagai sisi, mengingat akses masyarakat daerah tersebut telah terpenuhi karena dekat dengan ibukota tersebut. Selain itu, sumber daya ekonominya terfokus pada perindustrian. Berbeda dengan Kepulauan Riau dan Papua Barat, provinsi ini secara geogerafis sangat jauh jangkauannya dari ibukota dan belum mengalami kemajuan yang berarti sejak berkuasanya orde baru. Selain itu, kekayaan sumber daya alam bagi wilayah ini cukup signifikan, namun masih terbatas sumber daya manusianya.
Memang, pada prinsipnya pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan peningkatan hubungan keserasian antara pusat dan daerah. Dalam berbagai studi tentang pemekaran, sering ditemui bahwa latar belakang pemekaran suatu wilayah dilandasi oleh distribusi kekuasaan, isu politik, geogerafis, sejarah suatu wilayah, motif suku dan budaya, dan isu pelayan publik. Apakah isu tersebut menjadi argumentasi bagi Kepulauan Riau, Papua Barat dan Banten dalam memperjuangkan pemekaran wilayahnya? Jawabannya akan dibahas secara mendalam pada pembahasannya atau akan ditemukan motif lain yang akan menjadi argumentasi perjuangan mereka.
Berdasarkan argumentasi di atas maka timbul pertanyaan, apakah motif ketiga provinsi tersebut untuk melepaskan diri dari provinsi induknya? Apa saja yang dilakukan oleh para aktornya dalam proses memperjuangkan pemekaran tersebut serta bagaimana prosesnya? Untuk itu, studi ini akan mengemukakan motif pemekaran wilayah yang terjadi di Provinsi Banten dan Papua Barat serta aktor-aktor yang berperan dalam proses pemekaran tersebut dan akan didapat studi komparatif diantara ketiganya.
B. Sejarah Pemekaran di Indonesia
Secara historis, pemekaran di Indonesia setidaknya dapat dirunut menjadi lima masa. Pertama, era perjuangan kemerdekaan (1945-1950). Pada masa ini Indonesia memeiliki delamapan propinsi yaitu: Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Kedua,pada era demokrasi terpimpin atau orde lama (1950-1966). Pada masa ini terjadi beberapa perubahan. Propinsi Sumatra dipecah menjadi Sumatra Utara, Sumatara Tengah (termasuk Didalamnya Aceh) dan Sumatara Selatan. Sementara Yogyakarta mendapat status Daerah Istimewa dan menjadi Propinsi dendiri. Adapun Propinsi kalimantan dipecah menjadi tiga yaitu, Kalimanatan Barat, Kalimanatan Selatan dan Kalimanatan Timur. Propinsi Sunda Kecil dipecah menjadi propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sulawesi dipecah menjadi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
Ketiga, era orde baru. Selama masa ini Propinsi Bengkulu dimekarkan dari Propinsi Sumatara Selatan. Irian Barat secara resmi menjadi salah satu Propinsi di Indonesia disusul Aceh menjadi Propinsi sendiri dan juga diikuti Timur-Timur menjadi Propinsi ke-27. Keempat, era reformasi (1999-sekarang). Pada masa Timur-Timur memisahkan diri dari Indonesia dan memilih opsi merdeka pada tahun 2002. Sementara itu pada masa reformasi ini pula muncul beberapa Propinsi baru yang merupakan hasil pemekaran yaitu: maluku Utara (4 oktober 1999), Banten (17 Oktober 2000), Bangka Belitung (4 Desember 2000), Gorontalo (22 desember 2000), Irian Jaya Barat dan kemudian berubah menjadi Papua Barat (21 November 2001), Kepulauan Riau (25 Oktober 2002), Sulawesi Barat (5 Oktober 2004)
C. Landasan Normatif Pemekaran
Awalnya, landasan hukum pemekaran daerah berdasarkan pada PP nomor 129 Tahun 2000 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Ratnawati dan Jaweng mengatakan bahwa ada lima hal yang disebutkan dalam PP tersebut, diantaranya tujuan pemekaran, persyaratan pemekaran, prosedur pemekaran, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan evaluasi penyelenggaraan otonomi di daerah. Tujuan pemekaran adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan, demokrasi, percepatan perekonomian daerah, dan peningkatan keserasian hubungan pusat-daerah. Adapun syarat pemekaran wilayah adalah menyangkut kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan berdirinya suatu wilayah otonom. Yang menjadi prosedur pemekarannya adanya kemauan politik pemerintah daerah induk dan masyarakat yang mau memekarkan wilayahnya yang didukung oleh penelitian awal oleh pemerintah daerah induk. Usulan pemekarannya disampaikan kepada Mendagri yang telah disetujui oleh provinsi induknya. Mendagri menugaskan tim untuk melakukan observasi lebih lanjut. Selanjutnya meminta rekomendasi kepada DPOD untuk kemudian diserahkan kepada Presiden yang disertai RUU pembentukannya dan dibahas oleh DPR untuk dijadikan undang-undang wilayah baru tersebut.
Untuk pembiayaan wilayah baru tersebut, pada tahun pertama ditanggung oleh wilayah induk berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari APBN. Sedangkan evaluasi dilakukan pada saat lima tahun setelah berjalannya pemerintahan di provinsi baru tersebut.
Untuk saat ini, rujukan hukum masalah pemekaran wilayah berdasarkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini lebih rinci menjelaskan mekanisme pemekaran suatu wilayah. Selanjutnya, sebagai dijabarkan melalui PP Nomor 78 Tahun 2007, juga sebagai pengganti PP Nomor 129 Tahun 2000 tersebut. Yang menarik dari PP 78/2007 ini adalah bahwa pemekaran suatu wilayah dimulai dari desa atau kelurahan. Dan untuk kelengkapan administratif, maka bagi sebuah provinsi yang ingin memekarkan diri harus memiliki minimal 5 kabupaten/kota. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa pemekaran suatu wilayah dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Dijelaskan dalam PP Nomor 78 Tahun 2007 bahwa untuk provinsi induk harus berumur minimal 10 tahun dari awal terbentuknya provinsi induk, barulah kemudian bisa melakukan pemekaran wilayah. Mahardika sebagaimana yang dikutip oleh Eka Suaib mengatakan bahwa gerakan pemekaran dapat ditafsirkan sebagai kumpulan keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan yang dipandang lebih baik dan bermakna, untuk mengubah tatanan yangn tidak adil menuju suatu tatanan baru yang memberi jaminan pada realisasi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini merupakan latar belakang suatu gerakan pemekaran suatu wilayah terinspirasi. Jadi, pemekaran suatu wilayah bukan suatu yang datang dan didapatkan dengan tiba-tiba melainkan berproses sangat panjang dan penuh perjuangan.
D. Urgensi Pemekaran di Indonesia
Tri Ratnawati mengemukakan bahwa secara normatif-teoretis pemekaran suatu wilayah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan demokrasi lokal, memaksimalkan akses publik ke pemerintahan, mendekatkan pemerintah dengan rakyat, serta menyediakan pelayanan publik sebaik dan seefisien mungkin. Hampir semua argumentasi pemekaran suatu wilayah seperti argumentasi normatif di atas, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat dan elit politik di Riau, Jawa Barat dan Papua. Namun secara empirik masih perlu dikaji secara mendalam. Akses rakyat terhadap pemerintahan merupakan suatu hal yang harus ada pada era otonomi daerah ini. Namun secara politis-pragmatis, urgensi suatu pemekaran adalah untuk merespons separatisme agama dan etnis tertentu, membangun citra rezim yang demokratis, memperkuat legitimasi rezim yang sedang berkuasa, adanya kepentingan pribadi dari berbagai aktor baik di tingkat pusat maupun daerah, serta untuk mengakomodasi dan akumulasi kekuasaan di tingkat lokal oleh elit lokal. Politisasi pemekaran ini selalu mengakibatkan kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan pasca pemekaran tersebut karena adanya berbagai kepentingan pribadi dan kelompok yang dimunculkan daripada kesejahteraan rakyat.
Pada kepentingan ekonomi, suatu daerah akan melakukan pemekaran dari daerah induk dengan alasan wilayahnya secara sumber daya memiliki hasil sumber alam yang sangat tinggi, diprediksikan bahwa pertumbuhan perekonomian akan meningkat ketika dimekarkan serta adanya upaya pemerataan pembangunan ekonomi. Tujuan ini lebih mempersuasikan pada isu kesejahteraan ekonomi di wilayah yang akan dimekarkan seperti halnya Kepulauan Riau, Papua Barat dan Banten. Pada kasus Papua Barat, Banten dan Kepulauan Riau persoalan jarak yang jauh dengan ibukota provinsi induk, sehingga akses pembangunan ekonomi juga menjadi terhalang. Secara geogerafis, distribusi pembangunan ekonomi sangat sulit didistribusikan secara merata.
Sementara itu, isu etnisitas dan historis-geogerafis juga menjadi prioritas. Tujuan untuk membangun komunitas dan yang satu budaya dan memperkuat kebudayaan itu sendiri terjadi di Kepulauan Riau, Papua Barat dan Banten. Egosentris kesukuan ini akan dikemukakan dalam bahasan masing-masing provinsi. Jadi, menjadi provinsi tersendiri pada dasarnya merupakan bagian dari memperjelas posisi kebudayaan suatu daerah itu sendiri.
Urgensi pemekaran suatu wilayah sebagaimana yang dijelaskan di atas, pada dasarnya tidaklah bekerja dengan sendirinya. Satu sama lain saling berkaitan dan menguatkan. Hanya saja pasti ada isu prioritas yang menjadi starting point dalam proses perjuangan pemekaran suatu wilayah tersebut.
STUDI KASUS PEMEKARAN PROVINSI
A. Provinsi Riau
1. Motif Pemekaran
Kepulauan Riau merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang melepaskan diri dari provinsi induknya yakni Provinsi Riau. Secara keseluruhan wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, 47 kecamatan serta 274 kelurahan/desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil yang 30% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252.601 km², sekitar 95% merupakan lautan dan hanya sekitar 5% daratan. Kepulauan Riau merupakan provinsi yang memiliki resources yang memadai. Oleh karena itu, masyarakat dan elit politiknya berkeinginan untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan provinsi ke-32 di Indonesia. Kepulauan Riau merupakan daerah yang lebih didominasi oleh wilayah perairan, hampir 96% wilayahnya adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dan pulau kecil.
Yang menjadi motif pemekaran Kepulauan Riau (Kepri) adalah karena latar belakang historis-geogerafis, bahwa ibukota Provinsi Riau pada awalnya adalah Tanjung Pinang dan kota itu menjadi ibukota Kepri sekarang. Jadi, perjuangan Riau dahulunya ada di Kepri (sekarang). Selain itu, bahasa Indonesia yang sudah kita maklumi bersama adalah berasal dari bahasa Melayu, dan tepatnya ada di Tanjung Pinang dan Lingga. Bahasa Melayu ini disebarkan dan diangkat oleh Raja Ali Haji, pujangga Riau yang terkenal dengan Gurindam dua belasnya. Melalui karya-karya Ali Haji tersebut bahasa Melayu menjadi terkenal hingga dijadikan rujukan bahasa nasional.
Selain itu, adanya sumber daya alam yang melimpah di Kepri, berupa minyak bumi, gas alam, pertanian, dan yang terpenting adalah kekayaan alam lautnya. Bagi daerah Batam sendiri, merupakan kawasan industri terpenting di Indonesia yang bertetangga dengan Singapura. Pusat industri terbesar di Sumatera terdapat di Batam. Maka tidak heran jika penghasilan pajak terbesar terdapat di Kota Batam.
2. Peran Aktor dan Proses Pemekaran
Pembentukan Propinsi Riau Kepulauan dalam sejarah Daerah Riau merupakan sebuah fenomena yang baru, yang menghadirkan berbagai macam polemik. Pada kenyataannya, fenomena ini telah mengundang berbagai reaksi baik pada tatanan masyarakat yang berada pada Riau Daratan sebagai pusat pemerintahan propinsi, maupun pada lokalitas masyarakat Kepri sendiri. Selanjutnya, kehadiran pusat melalui Pansus DPR RI memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses perdebatan tersebut, yakni ketika Pansus DPR RI menyetujui RUU pembentukan Propinsi Kepri menjadi UU.
Dalam perkembangannya, sebenarnya munculnya keinginan untuk membentuk Propinsi Kepri telah menjadi wacana publik sejak tahun 1999, tepatnya setelah dilaksanakan Musyawarah Besar (Mubes) rakyat Kepri pada tanggal 15 Mei 1999. Adapun isu yag diangkat pada waktu itu adalah:
· Pembentukan Provinsi Kepri sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
· Dengan potensi alam yang dimiliki Kepri, maka Kepri sebenarnya telah memenuhi syarat untuk mendirikan sebuah provinsi sesuai dengan perundang-undangan.
Untuk merealisasikan hasil Mubes tersebut maka dibentuk Badan Persiapan Pembentukan Provinsi Kepri (BP3KR). Badan ini melakukan lobi terhadap Gubernur Riau dan DPRD Riau, namun tidak mendapat restu dengan alasan bahwa Riau baru saja memekarkan beberapa kabupaten. Akhirnya, badan ini melakukan hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat tanpa melalui pemerintah Provinsi Riau.
Dari kondisi tersebut, terlihat sekali hubungan antara Kepulauan Riau dengan Jakarta semakin erat dengan tanpa adanya pesetujuan dari Gubernur Riau dan DPRD Riau sebagaimana yang diamanatkan oleh UU. Bahwa secara langsung Ketua DPR RI Akbar Tanjung juga memberikan dukungan terhadap pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Menurutnya, pembahasan RUU Provinsi Kepulauan Riau akan diprioritaskan pada sidang ke-3 DPR bersama 21 RUU yang diajukan ke dewan. Pernyataan ini disampaikan ketika menerima 50 orang anggota delegasi BP3KR yang dipimpin Huzrin Hood, di Jakarta. Menurutnya juga, secara objektif pembentukan Provinsi Kepulauan Riau tidak dapat ditolak dan sulit dihindari, sebab sumber daya manusia dan sumber daya alamnya sangat potensial untuk meningkatkan kehidupan rakyat agar lebih sejahtera. Gubernur Riau dan DPRD Riau dalam menanggapi keinginan tersebut, menyatakan bahwa pembentukan Propinsi Kepulauan Riau belum waktunya untuk dilepas, disamping Daerah Riau sedang melakukan pemekaran wilayah dari 7 kabupaten menjadi 17 Kabupaten, pembentukkan Propinsi kepri belum didukung sepenuhnya oleh DPRD di daerah Kepulauan Riau. Hal ini lebih jauh karena bertentangan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 pasal 115 dan PP Nomor 129 Tahun 2000 soal kriteria pemekaran dan pengembangan daerah. Dengan alasan ini pulalah Gubernur Riau dan DPRD Riau menolak pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.
Sementara itu, munculnya keinginan tersebut oleh berbagai kalangan menganggap sebagai upaya memecah konsentarsi rakyat Riau yang menuntut Jakarta atas bagi hasil minyak Riau 15 persen yang pernah dijanjikan Presiden Gusdur. Karenanya Pekanbaru menilai tuntutan itu tidak tepat waktu. Selain waktunya tidak tepat, ketidaksetujuan pembentukkan Provinsi Kepulauan Riau juga berhubungan dengan soal potensi SDA yang berada di wilayah kepulauan itu. Apa yang menjadi keberatan Pekanbaru terhadap pembentukan Provinsi Kepulauan Riau ini, sudah dimaklumi oleh masyarakat Kepri sendiri. Namun, masyarakat Kepri tetap berkeinginan untuk mendirikan propinsi sendiri dan bercerai dari Provinsi Riau. Oleh karenanya masyarakat Kepulauan Riau berpandangan Provinsi Riau merestui atau tidak yang penting Jakarta mendukungnya. Dukungan Pemerintah Pusat secara eksplisit dapat dilihat antara lain dari: Pertama, Presiden Gusdur secara langsung di hadapan Masyarakat Kepri menyatakan dukungannya.
“Presiden menilai Provinsi Riau sangat tepat untuk dipecah menjadi dua propinsi, sebab pemecahan dua propinsi ini telah dialami oleh daerah lain yang luas seperti Provinsi Papua yang rencananya akan dibagi menjadi tiga provinsi”. Kemudian dalam kunjungan itu Gusdur juga meminta kepada Gubernur Riau untuk mengaktifkan daerah tingkat II untuk menyusun rencana tersebut. Kedua, Rencana pembentukan Provinsi Kepulauan Riau didukung oleh Komisi II DPR RI yang kemudian membentuk Pansus. Selain sudah membentuk Pansus Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau juga telah menyusun draf Rancangan Undang-undangnya, pemerintah melalui Depdagri juga sedang menyiapkan UU pembentukan Provinsi Kepulauan Riau . Untuk mempercepat realisasi kerja Pansus, maka pada tanggal 24 Januari 2002 Pansus memanggil Gubernur Riau dan DPRD Riau ke Jakarta. Adapun tokoh-tokoh yang ikut mendukung proses perjuangan pemekaran Provinsi Kepri adalah seluruh Bupati yang sekarang bagian dari Kepri kecuali Bupati Natuna, tokoh masyarakat, LSM dan mahasiswa. Selanjutnya adanya dukungan dari DPR RI yang agresif memperjuangkan UU Provinsi Kepulauan Riau. Namun sebaliknya, Gubernur Riau dan DPRD Riau berupaya untuk menolaknya.
Setelah mengamati bagaimana masing-masing aktor memberikan argumennya tentang pembentukan Provinsi Kepri tersebut, sebenarnya terlihat adan dua kondisi yang berlangsung. Pertama, pihak yang mendukung pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, baik pada saat melakukan dialog, jumpa pers maupun aksi demonstrasi. Kedua, adalah pihak-pihak yang melakukan kritik dan menolak pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Selain BP3KR, Ikatan Warga Kepulauan Riau (IWKR) juga melakukan advokasi dengan memperbanyak proses dialog dengan pemerintah Provinsi Riau supaya mau melepaskan Kepulauan Riau menjadi Provinsi tersendiri.
Yang menarik dari proses perjuangan tersebut adalah tidak adanya dan menolak secara verbal dari Bupati Natuna dan Mahasiswa Natuna yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Natuna Indonesia (KAMNI). Mereka mendukung supaya Kepri tetap bergabung dengan Riau saja dengan alasan bahwa belum saatnya Kepri menjadi provinsi tersendiri. Selain itu, secara ekonomis dan geogerafis dapat dimaklumi bahwa tidak ada juga untungnya bagi Natuna, karena kondisinya yang jauh dari jangkauan. Selain itu, adanya tuntutan merdeka dari Provinsi Riau dan Natuna lebih memilih bergabung dengan Riau jika merdeka.
B. Provinsi Jawa Barat
1. Motif Pemekaran
Angin reformasi yang bertiup kencang telah melahirkan sejuta kemungkinan. Banyak hal yang dianggap mustahil saat rezim Orde Baru masih berada di atas angin, kini dengan mudah dapat diwujudkan. Berbagai tuntutan yang dulu dianggap tabu sekarang bahkan menjadi menu harian, meski terkadang kebablasan. Namun satu hal yang pasti bahwa iklim reformasi telah menyuguhkan lebih banyak ruang kemungkinan. Ibarat angin segar yang selalu dirindukan pepohonan, semangat reformasi yang terus berhembus menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk senantiasa melakukan berbagai perubahan secara signifikan.
Geistzeit (semangat zaman) itu --tak terkecuali-- juga telah mengilhami berkobarnya perjuangan masyarakat Banten yang kian serius menuntut pemekaran lahirnya provinsi baru: Provinsi Banten ! Tuntutan berdirinya provinsi Banten ini telah dimulai sejak tahun 1953 --kemudian terus bergulir pada tahun 1963, 1971, 1997, 1999 hingga awal tahun 2000 seiring menguatnya momentum otonomi daerah.
Hal ini, paling tidak, dilandasi atas dua alasan yang cukup mendasar. Pertama, secara bottom up tuntutan berdirinya Provinsi Banten telah menjadi keinginan bersama (common sense) sebagian besar warga masyarakat Banten. Pada saat itu, tidak kurang dari sembilan organisasi dan kelompok masyarakat yang dibentuk atas dasar semangat yang sama untuk membidani lahirnya Provinsi Banten. Kesembilan organisasi itu adalah Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB), Gerakan Masyarakat Banten Independen Reformis dan Agamis (Gembira), Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Banten (FKHMB), Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (BKPPB), Forum Pergerakan Mahasiswa Banten (Forban), Front Perjuangan Mahasiswa Banten Yogyakarta (Formaby), Forum Masyarakat Tangerang (Formatang), Forum Pemuda Balaraja (Formula), dan Forum Silaturahmi Warga Pandeglang (Forsgalang).
Kedua, secara top down tuntutan itu telah direstui oleh hampir seluruh level kelembagaan dari institusi formal yang ada. DPRD dan Pemda di lingkungan keresidenan Banten ataupun di tingkat wilayah provinsi Jawa Barat --meski agak alot-- telah memberikan persetujuannya. Demikian pula di tingkat pusat, dari sepuluh fraksi yang ada di DPR seluruhnya menyatakan setuju dan dapat menerima RUU mengenai Pembentukan Provinsi Banten. Disamping itu, secara pribadi, Presiden KH Abdurrahman Wahid saat itu bahkan pernah memberikan dukungan moralnya saat berkunjung ke Banten, pada 17 Juli 2000.
Kuatnya tuntutan dan dukungan terhadap lahirnya Provinsi Banten tentu perlu dibarengi dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mengkaji secara kritis berbagai potensi yang dimilikinya. Ada tiga sumber potensi utama yang dimiliki masyarakat Banten, yaitu potensi religiusitas yang tercermin dalam kekayaan spiritualnya, potensi ekonomi yang terkandung dalam kekayaan alamnya serta potensi sosio-kultural yang tercermin dalam khazanah sosial-kemasyarakatannya. Ketiga hal ini perlu dikaji secara sinergis dan komprehensif sehingga mampu mengisi semangat "reformasi internal" masyarakat Banten dalam mewujudkan provinsi baru yang didambakan.
Dengan demikian, menyemburatnya tuntutan berdirinya Provinsi Banten bukan euforia belaka atau hanya sekadar nostalgia terhadap kejayaan Banten di masa silam. Akan tetapi, betul-betul berangkat dari sebuah kesadaran untuk memperbaiki taraf kehidupan, meningkatkan kesejahteraan serta upaya membangun masa depan yang lebih berpengharapan. Dengan sendirinya, kajian kritis dari aspek antropologis, sosiologis maupun ekonomis merupakan sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkannya.
2. Tinjauan Ragam Aspek
Dalam peta sosial-budaya Jawa Barat, setidaknya ada tiga subkultur yang dominan. Pertama, Priangan yang merupakan komunitas etnis Sunda dalam bentuk aslinya. Cianjur, Bandung, Sumedang, Purwakarta, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis merupakan daerah yang termasuk dalam kelompok ini. Kedua, subkultur Cirebon yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, Kuningan dan Cirebon. Subkultur ini dipengaruhi oleh inter-relasi budaya antara Sunda dan Jawa dengan tingkat pengaruh yang relatif variatif satu sama lain. Ketiga, subkultur Banten yang ditandai dengan inter-relasi antara tiga budaya, yaitu Sunda, Jawa, dan Betawi.
Banten yang meliputi Tangerang, Serang, Pandeglang, dan Lebak memiliki posisi wilayah yang bertetangga dengan Jakarta (Betawi). Hal ini tentu saja sangat memungkin-kan untuk terjadinya akulturasi atau asimilasi budaya Sunda-Betawi. Sementara faktor historisitas Kesultanan Banten dengan kerajaan Islam di Jawa seperti Demak, Jepara dan Cirebon telah melekatkan masyarakat Banten untuk berhubungan secara intens dengan budaya Jawa. Hal ini turut mengukuhkan Banten sebagai subkultur yang khas dan dapat dibedakan dari etnis Sunda sebagai komunitas induknya.
Dengan menyimak asumsi dasar tersebut, maka tuntutan dibentuknya Provinsi Banten yang kini terus menggelinding tidak dapat dilihat dari aspek politik ketatanegaraan belaka, yakni sebagai upaya untuk memperpendek rentang kendali birokrasi. Namun demikian, tuntutan pembentukan Provinsi Banten juga dapat dikaji dari aspek sosio-antropologis, yakni adanya hasrat untuk mempertegas eksistensi subkultur Banten di tengah pola pemerintahan Jawa Barat yang terkesan “priangan centris”.
Dengan demikian, hasrat untuk membentuk Provinsi Banten dapat dipandang sebagai upaya dehegemonisasi masyarakat Banten yang selama ini merasa terkooptasi. Oleh karena itu, dari aspek sosio-antropologis, pembentukan Provinsi Banten perlu diawali dengan penciptaan identitas komunitas yang mampu mengikat segenap komponen masyarakatnya dengan visi dan misi sosio-kultural secara integral.
Paling tidak, ada tiga modal kultural masyarakat Banten yang dapat menopang terciptanya identitas komunitas untuk dijadikan visi dan misi sosio-kultural masyarakat-nya, yakni: sense religiusitas, heroisme jawara, serta solidaritas subkultur. Ketiganya memiliki arti penting dalam peta kultural masyarakat Banten. Urgensi dari ketiga hal ini dapat dijelaskan secara simplikatif.
Pertama, masalah sense religiusitas atau lebih tepatnya ghirah keberagamaan (Islam). Sejarah mencatat bahwa kejayaan Banten telah terukir bersamaan dengan “mewabahnya” kegiatan pendidikan dan penyebaran Islam. Puncak keemasan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) juga ditandai dengan berfungsinya Banten sebagai pusat pendidikan dan penyebaran Islam saat itu. Sementara pola pemerintahan Banten saat itu yang berbentuk kesultanan makin menguatkan argumen bahwa ghirah keberagamaan telah menjadi bagian integral dari identitas kultural masyarakat Banten.
Kedua, heroisme jawara. Sifat ini mungkin lebih merupakan bentukan sejarah masa kolonial. Sejarah masa lalu Banten hampir tidak jauh berbeda dengan Aceh. Rakyat dua daerah itu mengalami nasib getir akibat penindasan penjajah Belanda dan kemudian Jepang. Tetapi, peristiwa itu tidak melunturkan semangat rakyat Banten. Bahkan dibanding daerah lainnya di Jawa Barat, perlawanan rakyat Banten hampir tak pernah henti-hentinya dilakukan.
Selama ini pengertian jawara sering punya konotasi lain, bahkan negatif. Padahal sebetulnya, yang disebut jawara adalah seseorang yang membela kepentingan orang lain demi kebaikan. Dalam gambaran yang sederhana, jawara adalah seorang pendekar yang pintar silat dan memiliki ilmu kekebalan sehingga tidak mempan sabetan golok. Pakaiannya khas, berwarna hitam-hitam dan sikapnya selalu waspada dengan senjata terselip di pinggang. Jika masyarakat Madura tak bisa lepas dengan celurit, masyarakat Aceh dengan rencong-nya dan masyarakat Bugis dengan badiknya, maka jawara dari Banten tidak lepas dengan goloknya. Fenomena jawara kini telah menjadi bagian inhern dalam kultur Banten.
Ketiga, solidaritas subkultur. Masyarakat Banten tergolong memiliki kesadaran kelompok (l’sprit de corps) dan solidaritas kelompok yang tinggi, atau lebih tepatnya solidaritas subkultur. Jauh sebelum rencana pembentukan Provinsi Banten digulirkan, masyarakat Banten –sudah terlanjur-- lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai “orang Banten” dari pada mengaku “orang Sunda” atau “orang Jabar”. Namun sebaliknya, orang Banten umumnya juga kurang suka mengidentifikasi dirinya dalam kelompok yang lebih kecil. Sebagai contoh, orang Lebak atau orang Pandeglang mereka lebih enjoy mengaku “orang Banten” dari pada menyebut “orang Lebak” atau “orang Pandeglang”. Beberapa contoh ini menguatkan asumsi bahwa Banten sebagai sebuah subkultur, secara de facto telah terinternalisasi dalam ruang kesadaran masyarakatnya.
Ketiga hal tersebut, secara sosio-antropologis dapat turut membantu melicinkan jalan bagi terbentunya Provinsi Banten, tentu saja setelah berkolaborasi dengan berbagai aspek lainnya yang saling mengisi secara komplementer.
3. Temuan Awal
Dari uraian sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
· Tuntutan dibentuknya Provinsi Banten merupakan sesuatu yang realistis di tengah iklim reformasi dan demokratisasi kehidupan politik nasional. Hal ini didasarkan atas berbagai alasan, baik dari segi ekonomis, sosiologis, maupun tinjauan antropologis secara sinergis.
· Dari segi ekonomis, Banten merupakan kawasan yang potensial. Secara variatif, daerah-daerah yang terdapat di dalamnya memiliki keunggulan komparatif baik dari sektor pertanian, pariwisata, pendagangan, maupun sektor industri.
· Secara sosio-antropologis, Banten merupakan salah satu subkultur etnis Sunda yang khas dan dapat dibedakan dari identitas kultural induknya. Heroisme dan sikap patriotik sebagai salah satu prototipenya yang kuat telah mengantarkan masyarakat Banten mencapai puncak kejayaan di masa silam. Identitas kultural ini juga diperlukan dalam mewujudkan Provinsi Banten yang didambakan.
· Dalam merealisasikan tuntutan dibentuknya Provinsi Banten itu perlu dilakukan kajian serius secara kritis dan komprehensif. Upaya ini dipandang positif agar masyarakat Banten tidak terjebak dalam kegamangan dalam menyambut lahirnya provinsi baru yang diharapkan. Akan tetapi, bergulir dengan segenap keyakinan dan rasa percaya diri dengan menggali sekaligus mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya, sekaligus menapaki jejak-jejak sejarah kejayaannya di masa silam.
C. Provinsi Papua
1. Latar Belakang
Kebijakan Pemerintah dalam Pemekaran wilayah baik pemekaran di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten bahkan kebijakan pemerintah untuk pemekaran di tingkat Distrik (kecamatan) dan kampung (desa) hal ini didasarkan pada beberapa argumen dasar yakni peningkatan kesejahtraan masyarakat dan pemerataan pembangunan di berbagai aspek melalui;
· Percepatan Pertumbuhan Pembangunan dalam berbagai sektor Pembangunan di daerah-daerah;
· Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi;
· Memberikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi daerah;
· Memperpendek rentang kendali Pelayanan Pemerintahan;
· Mendekatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Beberapa faktor ini menjadi kerangka dasar untuk mendorong pemekaran terbentuknya beberapa Provinsi disamping berbagai aspirasi dan dukungan Masyarakat di daerah yang secara ketentuan administrasi layak dimekarkan.
Seiring dengan makna Pemekaran Wilayah, Desentralisasi dan Otonomo Daerah juga merupakan satu kesatuan dimana kewenangan di berikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi rumah tangganya sendiri, baik kewenangan untuk mengurusi pemerintahan dan pembangunan juga kewenagang fiskal kewenangan dalam Pengelolaan Struktur Anggaran dalam rangka pelayanan pemerintah dan pembangunan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk pemerataan pembangunan guna peningkatan kesejahtraan masyarakat terutama masyarakat yang berada di daerah-daerah pemekaran.
Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat berdiri berdasarkan undang-undang nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.Pemekaran ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan elit politik dan elit birokrasi pemerintah di Papua termasuk Mahasiswa.
Penolakan Pemekaran wilayah provinsi dinilai bertentangan dengan aspirasi masayarakat Papua dimana adanya keinginan kuat untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) “ disintegrasi bangsa”. Apa yang menjadi alasan untuk disintegrasi yakni dimana pembangunan yang berjalan selama ini tidak adil dan merata. Kesempatan orang papua untuk maju bersama suku-suku lain di provinsi lain menjadi sulit. Sehingga sala satu upaya untuk membangun daerahnya sendiri pilihannya adalah Merdeka dalam konteks memisahkan diri dari NKRI. Sehingga terjadi penolakan terhadap Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Adanya asumsi bahwa jika pemekaran maka akan memecah belah komitmen orang papua, akan memecah belah suku-suku yang ada di papua. Disamping itu pula juga akan muncul kodam-kodam baru di berbagai wilayah pemekaran yang nantinya akan memperhambat upaya masyarakat untuk melakukan upaya-upaya disintegrasi bangsa.
Terjadi dilema terhadap Undang-Undang 45 Tahun 1999 dimana pemekaran tingkat kabupaten tetap berjalan namun pemekaran provinsi di tangguhkan, kemudian bergening politik antara beberapa elit politik daerah dengan pemerintah pusat terhadap percepatan pembentukan provinsi Irian Jaya Barat maka Presiden Republik Indonesia (Megawati) mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Berdirinya Provinsi Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan Pemerintah Pusat pada tanggal 16 September 2002. Dalam dialog dengan Mentri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri, mereka menyampaikan aspirasi agar segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah ditetapkan pada tanggal 12 Oktober 1999 oleh Pemerintah Pusat. Kedatangan para tokoh masyarakat Irian Jaya Barat ini sangat meningkatkannya bargaining politik terhadap Pemerintah Pusat. Sehingga diterima oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 21 September 1999. Pemerintah Pusat menanggapi aspirasi masyarakat dengan mengeluarkan Inpres nomor 1 tahun 2003.
2. Alasan Pemekaran
Pemekaran provinsi mempunyai suatu harapan bahwa dengan pemekaran dapat memperpendek rentang kendali pemerintahan dan pembangunan, guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, selain itu mendorong untuk mempererat hubungan persaudaraan melalui pembukaan wilayah-wilayah terisolir sehingga mereka saling kenal-mengenal, membuka jalur daerah-daerah terisolir maka pembangunan ekonomi ke depan akan lebih baik melalui usaha-usaha ekonomi masyarakt guna memperbaikan taraf hidup dan kesejahtraan masyarakat. Mempercepat pemerataan pembangunan diperlukan untuk menjawab keterisolasian pada daerah-daerah yang masih terisolir. Dan juga mampu menjangkau kabupaten-kabupaten dan distrik-distrik, desa-desa, kampung-kampung yang jaraknya sangat jauh. Masyarakat dapat terjamaah oleh pendidikan yang layak, mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, atau menciptakan lapangan kerja baru melalui investor yang menanamkan modalnya di Provinsi Irian Jaya Barat.
Pemekaran akan memperbanyak jabatan politik seperti Gubernur, Bupati, Kepala Distrik, Kepala Kampung, dan jabatan-jabatan strategis lainnya, justru memperkuat kedudukan orang papua sebagai “tuan” di negerinya sendiri. Tetapi juga untuk mempertahankan Integrasi dengan NKRI, yang dengan banyak provinsi maka persatuan dan nasionalisme akan semakin lemah sehingga bisa dipatahkan, seberti yang dijelaskan pada halaman pendahuluan. Elit-elit pro-pemekaran mengatakan bahwa pada prinsipnya suatu hal yang mereka kontra terhadap pemekaran adalah mereka masi ingin memperjuangkan kemerdekaan papua. Dengan banyak pemekaran maka lemah gerakan papua merdeka.
3. Alasan Menolak Pemekaran
Analisis yang menjadi dasar untuk menolak pemekaran juga beragam terutama dari aspek hukum, ekonomi,sosial politik dan Sosial budaya. Kelompok yang menolak pemekaran ini terdiri dari kalangan LSM dan kalangan Gereja dan Organisasi Perempuan. Upaya penolakan pemekaran juga menjadi salah satu strategi agar mendapatkan ruang dalam mobilisasi gerakan papua merdeka tetap berjalan dengan baik. Pemekaran maka upaya untuk melakukan Gerakan Papua Merdeka ini menjadi terbatas, karena nantinya akan ada banyak tentara dengan munculnya KODAM diberbagai daerah Pemekaran.
Otonomi Khusus Papua Merupakan kebijakan resolusi konflik yang merupakan hasil konpromi atau konsep jalan tengah antara kepentingan masyarakat Papua yang ingin merdeka dan kepentingan NKRI yang ingin tetap mempertahankan integrasi Papua. Dengan Demikian apapun yang dibuat pemerintah pusat mengenai papua harus diletakan dalam konteks Otonomi Khusus baik mengenai pemekaran maupun masalah-masalah sosial budaya lainnya. Pemekaran Provinsi berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 sudah di tolak dan di tangguhkan, maka Pemberlakuan Inpres yang di keluarkan oleh Presiden RI (Megawati Sukarnoputri) Nomor 01 Tahun 2003 hanya membingungkan masyarakat dan perdebatan mengenai dasar hukum pemekaran yakni manakala ketikan dikeluarkan Inpres Nomor 01 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 maka harus dilakukan refisi terhadap undang-undang nomo 45/99 dimaksud yang mengarah pada Undang-Undang Otonomi Khusus sehingga apapun Pemekarannya tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.
4. Realitas Konteks
Pemekaran dan merdeka (disintegrasi) keduanya mengandung makna ingin mensejahterakan masyarakat, ingin membangun masyarakat dari ketertinggalan semua aspek pembangunan. Maka solusi yang paling tepat diambil adalah pemekaran wilayah.
Sungguh luar biasa kebijakan pemerintah dimana Provinsi Papua dimekarkan menjadi 2 provinsi sejumlah kabupaten di kedua provinsi ini telah dimekarkan sampai menjadi bagian-bagian yang terkecil. Papua mendapatkan kebijakan Otsus dengan berbagai kebijakan anggaran, perencanaan pembangunan yang dulunya sentralistik menjadi desentralisasi yang diikuti dengan kebijakan Struktur Anggaran dari pemerintahan yang diharapkan berbagai wilayah-wilayah terpencil di wilayah kabupaten telah menikmati hasil pembangunan yang baik.
Pemekaran wilayah baik provinsi maupun kabupaten merupakan suatu pemaksaan kehendak dimana tidak diikuti dengan penyiapan sumber daya manusia yang ideal, yang dimaksud dengan sumber daya manusia yang ideal adalah selain mempunyai kemampuan akademis juga mempunyai prilaku yang baik yang memihak pada masyakat.
Papua kaya akan sumber-sumber pembiayaan pembangunan, namun gagal dalam pembangunan dan pelayanan pemerintahan, dimana kesempatan emas ini hanya dinikmati oleh pejabat-pejabat tertentu yang mengatasnamakan masyarakat Papua.
STUDI KOMPARATIF
Seiring menguatnya semangat otonomi daerah, pemekaran wilayah dalam berbagai levelnya terus berlangsung. Namun demikian, meskipun secara umum proses pemekaran memiliki dasar hukum yang relatif sama, namun dalam tataran implementasinya pemekaran suatu wilayah memperlihatkan varian yang berbeda satu sama lain. Bagian tulisan ini akan menceritakan bagaimana perbandingan proses pemekaran yang terjadi di tiga wilayah provinsi, yaitu di Riau, Jawa Barat, dan Papua. Komparasi ini setidaknya dapat dilihat dari berbegai aspek dan indikator, seperti: dasar hukum, proses awal, model tuntutan, orientasi, aktor, dan pro-kontra yang menyertainya.
Meskipun ketiga provinsi itu melakukan pemekaran dalam waktu yang relatif sama, yaitu sekitar tahun 2000-an, namun proses pergelutan awalnya relatif berbeda. Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan pemekaran dari provinsi Riau sudah dirintis sejak tahun 1999 untuk kemudaian terwujud pada 25 Oktober 2002. Adapun Irian Jaya Barat yang kemudian dimekarkan dari Provinsi Papua sejak 11 November 2001 telah didorong sejak tahun 1970-an untuk menjadi provinsi Baru. Provinsi Banten, bahkan telah dirintis sejak lama, yaitu sejak tahun 1960-an meskipun baru pada 17 Oktober 2000 benar-benar direalisasikan menjadi provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat.
Dari sisi model tuntutannya juga dapat dibedakan, setidaknya antara pemekaran di Riau dan Papua dengan pemekaran di Jawa Barat. Di dua provinsi yang disebut pertama itu tuntutan pemekaran lebih dominan diinisiasi oleh aktor di tingkat pusat secara top-down. Sementara di Jawa Barat, meskipun tak lepas dari aktor pusat namun tuntutan lebih dominan diinisiasi oleh aktor lokal, terutama politisi dan organisasi masyarakat (Ormas) di lima kabupaten/kota yang kini tergabung dalam Provinsi Banten.
Selain itu, tampak pula perbedaan dalam hal orientasi, terutama antara pemekaran di Jawa Barat dengan Papua. Di Jawa Barat, orientasi pemekaran selain merupakan disain politik, namun sekaligus juga mengekspresikan tuntutan kultural, yakni semacam penegasan kultural dimana Banten sebagai sebuah sub-kultur di tatar Sunda ingin menegaskan identitas kulturalnya secara lebih tegas. Sementara pemekaran di Papua, selain berorientasi politis juga diperkuat dengan maksud stabilitas keamanan, terutamadari para aktor dominan yang mengusungkan di tingkat pusat. Sementara di Riau, proses dan orientasi pemekaran Riau Kepulauan memperlihatkan tujuan, motif, dan orientasi yang lebih beragam baik orientasi politis, ekonomis, maupun kultural.
Perbedaan lain yang cukup mencolok juga tampak dalam hal pro-kontra dalam proses pemekaran. Di Jawa Barat, proses pemekaran nyaris tidak menimbulkan pro-kontra, terutama di kalangan masyarakat yang menjadi pengusung utama di lima kabupaten/kota yang kini menjadi bagian dari Provinsi Banten. Sementara pemekaran di Riau dan Papua lebih syarat dengan pro-kontra, baik dikalangan internal kota/kabupaten pengusung, maupun dan terutama konfliktual dengan pemerintahan pusat. Beberapa hal inilah setidaknya yang tampak secara lebih signifikan dapat dikomparasikan dalam proses pemekaran di tiga wilayah tersebut. Secara umum, hal ini dapat disimak dalam matrik berikut:
No |
Indikator |
| Propinsi |
|
Riau | Jawa Barat | Papua |
1 | Dasar hukum | UU No.25/2002 | UU No. /2000 | UU No.45/1999 Inpres N0.1/2003 |
2 | Proses awal | 1999 | 1960an | 1970an |
3 | Model tuntutan | Sinergi | Bottm -up | Top-down |
4 | Orentasi | Politik Ekonomi kultural | Politik kultural | Politik Keamanan/stabilitas |
5 | Aktor | Politisi pusat Birokrat Ormas | Politisi Ormas | Politisi Birokrat Politisi pusat |
6 | Pro-kontra | ü | X | ü |
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemekaran sebagai salah satu ekspresi menguatnya politik lokal merupakan sesuatu yang tidak terelakkan dalam kontek politik desentralisasi.
2. Pemekaran di berberapa daerah terutama yang menjadi fokus kajian tulisan ini yaitu, Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Papua, mengambarkan berbagai ragam aspek dan karakteristik, baik persamaan maupun perbedaan.
3. Persamaan dari pemekaran ketiga wilayah tersebut yaitu pertama, waktu dimekarkan pada sekitar tahun 2000-an, meskipun proses pergelutan awalnya relatif berbeda. Provinsi Kepulauan Riau di memekaran pada 25 Oktober 2002. Adapun Irian Jaya Barat dimekarkan dari Provinsi Papua sejak 11 November 2001. Dan Provinsi Banten, baru di mekarkan pada 17 Oktober 2000. Kedua, aspek plitik, dalam hal ini dorongan baik dari elit lokal maupun pusat.
4. Adapun karakteristik perbedaan yang menonjol dari ketiga wilayah pemekaran yaitu, Proses mekarnya Provinsi Riau kepulauan dari provinsi Riau lebih banyak diinisiasi dari aspek kulturan dan ekonomi selain motif politik. Mekarnya provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat, lebih banyak didorong dari kepentingan-kepentingan kultural selain juga politik. Sementara pemekaran Provinsi Papua Barat dari Provinsi Papua, lebih banyak mengedepankan stabilitas keamanan ketimbang aspek lainya, baik politik maupun ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
H.M Said Saile. Pemekaran Wilayah Sebagai Buah Demokrasi di Indonesia. Restu Agung, Jakarta, 2008.
Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Tim Fokusmedia, Undang-Undang Otonomi Daerah, Fokusmedia, Bandung, 2004.
Cahyo Pamungkas, “Konflik Elit Lokal dalam Pembentukan Irian Jaya Barat” dalam Jurnal Masyarakat Indonesia Majalah ilmu-ilmu sisial Indonesia, Jilid XXX, No 1, LIPI, Jakarta, 2004.
R. Alam Surya Putra, dalam makalahnya Pemekaran Daerah Baru di Indonesia, Kumpulan Makalah Seminar Internasional VII “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ruang Untuk Memperjuangkan Kepentingan Politik”, Salatiga, 2006.
Tri Ratnawati dan Robert Jaweng Endi, Meninjau Kebijakan Pemekaran Daerah, Artikel yang dimuat dalam Jentera Jurnal Hukum Edisi 10 – Tahun III, Oktober 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar